Memelihara Budaya Malu Sebagai Kontrol Diri untuk Bersikap Baik dan Adil
Umat Nabi SAW selalu menjadikan sifat malu sebagai akhlak mulianya. Malu kepada Allah SWT untuk berbuat maksiat dan meninggalkan perintah-Nya.
Editor: Dewi Agustina
KH Cholil Nafis Lc MA PhD
Ketua Komisi Dakwah MUI
DAHULU, masyarakat menjauhi pacaran antara remaja putra dan putri karena ada rasa malu.
Bahkan orang tua tidak kuat menahan rasa malu manakala remaja putrinya bersama laki-laki yang bukan mahramnya.
Jangankan mengajak teman laki-lakinya ke rumah, menyapa di jalanan SAJA terasa ada rasa malu.
Karenanya, pergaulan bebas saat itu dapat lebih mudah dicegah karena ada rasa malu di hati masyarakat.
Betapa banyak sesuatu yang diinginkan oleh syawat manusiawi dapat ditahan karena motivasi malu.
Kini fenomena berubah, rasa malu hubungan remaja putra dan putri mulai berkurang.
Anak remaja tak segan-segan untuk mengajak teman dekatnya ke rumah untuk dikenalkan kepada orang tuanya padahal bukan untuk melamarnya.
Acara apel malam mingguan dianggap suatu yang lumrah.
Bahkan berjalan berduaan dan bersama seakan pasangan yang sah dianggap hal biasa.
Itu semua karena mulai pudarnya rasa malu.
Malu adalah budaya bangsa Indonesia.
Demikian pula agama Islam menanamkan sifat malu.
Budaya malu merupakan kontrol diri untuk bersikap baik dan adil.
Ajaran malu dapat menjaga marwah (baca; muru’ah) dari perbuatan tercela sehingga dapat meningkatkan derajat keimanan.
Orang yang tak punya rasa malu akan terjerumus pada kenistaan dan tak dipandang baik oleh Allah SWT dan masyarakat.