Trend Ngaji Online dan Ambyarnya Kharisma Kiai NU, Sudah Saatnya Move On!
Dalam rangka tetap menjalin tali silaturahmi dan intelektual, kiai-kiai kharismatik dan gus-gus kredibel memanfaatkan media sosial.
Editor: Husein Sanusi
Trend Ngaji Online dan Ambyarnya Kharisma Kiai NU, Sudah Saatnya Move On!
Oleh: KH. Imam Jazuli, L.c., M.A*
Corona Viruz Disease 2019 (Covid-19) bukan saja menumbangkan ratusan dan ribuan nyawa manusia di dunia. Tetapi, juga segala egosentrisme manusia. Yang tidak kalah parah, hipotesa kultural warga Nahdliyyin pun ikut tumbang. Pengalaman di bulan Ramadhan ini perlu sedikit diurai.
Pertama sekali, ketika pandemi Covid-19 merajalela, banyak pondok pesantren meliburkan kegiatan belajar-mengajar mereka. Para santri diberikan kesempatan pulang ke kampung halaman masing-masing.
Dalam rangka tetap menjalin tali silaturahmi dan intelektual, kiai-kiai kharismatik dan gus-gus kredibel memanfaatkan media sosial. Mereka menyenggarakan pengajian online; membacakan kitab-kitab kuning dan mengkajinya secara livestreaming.
Kedua, kenyataan tidak sebanding dengan harapan. Para kiai dan gus yang tampak kharismatik di pondok pesantren itu seakan kehilangan aura mitis dan tidak lagi gagah di dunia maya.
Kegagahan kultural selama ini tampak runtuh berkeping, terbukti setelah ada penelusuran jejak digital yang memperlihatkan pengajian online mereka sepi peminat.
Kenyataan ‘pahit’ semacam itu menimbulkan kecurigaan atas ribuan santri yang pulang kampung.
Apakah mereka betul-betul menikmati perpisahan dengan para kiai, ataukah memang inilah realitas sosial santri milenial.
Sekalipun sebagian santri di kampung terhubung dengan para kiai dan gus mereka melalui media online namun jumlahnya tidak seberapa.
Sementara di kubu sebelah, pengajian online yang diisi oleh AA Gym atau Abdul Somad, misalnya, diikuti oleh jutaan pemirsa.
Livestreaming mereka bagai tontonan mendebarkan yang dinanti-nantikan. Ditambah lagi ada realitas lain yang ganjil, yakni munculnya ustad-ustad ‘pragmatis’ yang hanya mengejar viral dan sering mengabaikan kualitas kontens. Jumlah golongan terakhir ini pun menarik banyak penonton.
Dua persoalan di atas menjadi pengantar mempertanyakan metode bandongan yang penuh berkah.
Apakah metode dakwah tradisional semacam itu sudah tidak lagi menarik minat generasi milenial? Tentu kita tetap berharap kiai-kiai sepuh tetap menjaga warisan tradisi.