Trend Ngaji Online dan Ambyarnya Kharisma Kiai NU, Sudah Saatnya Move On!
Dalam rangka tetap menjalin tali silaturahmi dan intelektual, kiai-kiai kharismatik dan gus-gus kredibel memanfaatkan media sosial.
Editor: Husein Sanusi
Namun, tidak ada salahnya pemuda-pemudi Nahdliyyin mempertimbangkan konsep al-muhafazoh ‘alal qodimis solih wal akhdzu bil jadidil aslah.
Metode pengajian yang klasik-tradisional ternyata terbukti sepi peminat, dan juga tidak mampu menembus ruang-ruang publik yang lintas batas.
Sepinya peminat atas pengajian online dari kiai-kiai dan gus-gus karismatik NU menjawab rasa penasaran kita semua mengenai hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2018 kemarin.
Denny JA pernah merilis 5 ulama nasional berpengaruh dan efek elektoral mereka. Nama-nama yang muncul disebut paling berpengaruh secara berurutan: Abdul Somad, Arifin Ilham, Yusuf Mansur, Aa Gym, dan Rizieq Shihab.
Temuan LSI tersebut tidak satu pun merepresentasi warga Nahdliyyin. Namun, hasil survei LSI masih bisa disangkal. Misal, kita mengatakan bahwa ulama-ulama NU lebih fokus mengaji kitab kuning dari pada mengurusi urusan politik.
Namun, kenyataan ‘pahit’ berupa sepinya peminat generasi android yang mengikuti pengajian online kiai-kiai karismatik dan gus-gus kredibel di bulan Ramadhan ini adalah realitas sosial yang tidak bisa disangkal.
Secara kualitas kontens. kekayaan khazanah intelektual pesantren sangat melimpah. Namun, semua itu akan tergeletak sia-sia dan percuma bila sepi peminat.
Hal ini berkorelasi dengan suatu karakteristik dunia baru yang sedang dihadapi, yakni dunia digital atau ruang maya (cyber space).
Kehadiran dunia baru ini menantang dunia lama kita. Bilik-bilik pesantren beserta seluruh sistem nilai pembentuknya harus mampu bergeser dan turut eksis di dunia baru tersebut.
Misal, di dalam dimensi sosial-kultural tradisional pesantren, para santri mencari barokah dari para kiai dan gus. Namun, di dunia sosial-digital yang baru ini, kita mencari subscibers.
Dunia lama dan dunia baru tidak untuk saling dipertentangkan. Dua-duanya hadir membawa keunikan identitas dan aturan main tersendiri.
Karenanya, inilah momentum bagi para muda-mudi Nahdlyiin berdakwah dengan metode kontemporer sesuai kecenderungan publik.
Jika aturan main ini tidak diindahkan maka jangan salahkan realitas yang terasa menyakitkan.
Ada benarnya ucapan Nadirsyah Hosen yang menyebut, “kekuatan NU yang bertumpu pada lokalitas menjadi ambyar begitu diviralkan di media sosial.”