Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Ramadan

Nyadran: Tradisi Ziarah Makam Jelang Ramadhan, Tips Tetap Aman Saat Covid-19

Nyadran yaitu tradisi tahunan ziarah ke makam menjelang bulan Ramadhan. Beserta sejarah dan Tips agar tetap aman saat nyadran

Penulis: Galuh Widya Wardani
Editor: Daryono
zoom-in Nyadran: Tradisi Ziarah Makam Jelang Ramadhan, Tips Tetap Aman Saat Covid-19
Tribunnews/Jeprima
Keluarga berziarah di area pemakaman jenazah Covid-19 di Taman Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Senin (4/1/2021). Lahan pemakaman untuk jenazah Covid-19 di TPU Pondok Ranggon sudah penuh sejak bulan November 2020 lalu. Merespon hal tersebut, Penanggung Jawab Pelaksana Pemakaman Covid-19 di TPU Pondok Ranggon, Muhaimin tengah berupaya mencari area baru yang memungkinkan untuk lahan pemakaman. Selain itu pihaknya juga menerapkan sistem tumpang untuk jenazah Covid-19 muslim di Pondok Ranggon. Tribunnews/Jeprima 

"Bahwa mereka adalah tetangga, yang pernah punya pengalaman bersama dalam memaknai ruang kampung," tambah Heri.

Sehingga nyadran mengajarkan untuk mengenang dan mengenal para leluhur, silsilah keluarga, serta memetik ajaran baik dari para pendahulu.

Baca juga: Jadwal Imsakiyah dan Buka Puasa Ramadhan 1442 H di Kota Makassar Beserta Bacaan Niat Puasa

Baca juga: Resep Membuat Terang Bulan yang Mudah dan Simpel, Inspirasi Menu Buka Puasa Ramadhan

Akulturasi Budaya dan Agama

Sebelum agama Islam diyakini masyarakat, nyadran dipercaya berawal dari akulturasi antara agama Hindu dan Budha.

Dilansir iain-surakarta.ac.id pada Kamis (25/3/2021), Sadranan merupakan tradisi Hindu-Budha yang telah ada sekitar abad 15.

Dalam perjalanannya, kegiatan nyadran akhirnya mengalami akulturasi, baik dengan budaya masyarakat Jawa juga dengan agama Islam.

Akulturasi semakin kuat ketika Walisongo menyebarkan agama Islam dengan mengakultutasikan budaya masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Islam.

Berita Rekomendasi

Sebelumnya kegiatan ini syarat dengan pemujaan roh, lantas oleh para Walisongo kegiatan ini lebih ditujukan sebagai sarana berdoa kepada yang Tuhan Yang Maha Esa.

Lambat laun, kegiatan akulturasi budaya dan agama ini kini telah menjadi aktivitas tetap bagi masyarakat Jawa.

Terdapat kesamaan dari kedua akulturasi tersebut, yaitu sesaji dan ritual persembahan untuk penghormatan terhadap leluhur.

Namun, tujuan dan cara yang dilakukan telah jauh berbeda.

Pada masa Hindu-Budha menggunakan puji-pujian dan sesaji sebagai perlengkapan ritualnya, sedangkan Walisongo mengakulturasikan nyadran dengan doa-doa dari Al-Quran.

(Tribunnews.com/Galuh Widya Wardani, IAIN Surakarta/Rohim Habibi)

Baca berita Ramadhan 2021 lainnya

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas