Teks Khutbah untuk Idul Fitri 1443 H: Merengkuh Taqwa Menjadi Muslim Wasathiyyah
Bagi Anda yang sedang mempersiapkan khutbah untuk Idul Fitri nanti, naskah dalam artikel ini dapat dijadikan contoh.
Penulis: Yurika Nendri Novianingsih
Editor: Arif Tio Buqi Abdulah
Semoga kita senantiasa menjadi hamba-hamba Allah yang terus memelihara keislaman, mempekuat keimanan, dan memperteguh keihsananan. Di zaman tunggang-langgang seperti ini, rasa-rasanya merawat islam, iman, dan ihsan adalah sesuatu yang sukar. Karenanya, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Swt, satu derajat lebih tinggi dari hari kemarin.
Jamaah Salat Idul Fitri rahimakumullah,
Konsep Wasathiyah dalam Islam bukanlah ajaran baru. Bukan pula suatu ijtihad pemikiran yang baru muncul pada abad 20 Masehi atau 14 Hijriyah. Melainkan telah dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad Saw sebagai prinsip dasar dalam menjalankan berkehidupan sehari-hari.
Nabi Muhammad pernah menampilkan sikap wasathiyah ketika berdialog dengan para sahabat. Kisah yang direkam Aisyiah ini menceritakan tiga orang sahabat yang mengaku menjalankan agamanya dengan baik. Masing-masing dari ketiga sahabat itu mengaku rajin berpuasa dan tidak berbuka; selalu salat malam dan tidak pernah tidur; dan tidak menikah lantaran takut mengganggu ibadah.
Rasulullah pada saat itu menegaskan bahwa beribadah memiliki kadarnya masing-masing. Harus ada keseimbangan antara tanggungjawab keagamaan dan tanggungjawab pribadi.
Nabi berkata walaupun dirinya adalah seorang utusan Allah Swt, ia tetap harus berbuka puasa, tidur dan menikah. Dan jelas bahwa Nabi adalah hamba istimewa karena menjadi utusan Allah untuk memperbaiki akhlaq umat manusia.
Apa yang dilakukan Nabi Muhammad sejalan dengan semangat Islam untuk tidak berlebih-lebihan dalam segala aspek kehidupan termasuk ibadah. Demikianlah salah satu prinsip wasathiyah, yaitu tidak condong secara berlebih-lebihan pada sesuatu yang sudah ada takarannya masing-masing. Tidak boleh melampuai batas.
Dalam ibadah, umat Islam dilarang untuk ghuluw (QS. An-Nisa: 171). Dalam muamalah dilarang keras untuk israf (QS. Al-A’raf: 31). Dalam perang membela agama pun umat Islam tidak membolehkan melakukan tindakan-tindakan di luar batas seperti merusak tumbuhan, membunuh hewan dan menyakiti anak-anak, lansia serta perempuan (QS. Al-Baqarah: 190). Konsep-konsep dasar ini adalah pijakan menjadi seorang muslim yang wasathiyah.
Tujuannya supaya umat Islam terhindar dari bahaya cara berpikir yang ekstrim dan menimbulkan kemudharatan bagi banyak orang. Islam mendorong umat muslim untuk menjadi yang selalu ada di tengah supaya tidak berat sebelah.
Jamaah Salat Idul Fitri rahimakumullah
alam kitab al-Mujam al-Mufahras li al-Alfazh al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Fuad Abd al-Baqi kata wasatha dalam al-Qur’an disebut lima kali dengan segala maksud dan konteks penggunaannya.
Pertama, wasathna, berarti “berada di tengah-tengah” terdapat dalam QS. Al-Adiyat ayat 5:
فَوَسَطۡنَ بِهٖ جَمۡعًا
Artinya: “Lalu menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh.”