Desa di Sepanjang Kali Gendol Terkubur Lahar
Muntahan lava pijar Gunung Merapi pada Jumat (5/11/2010) dini hari telah mengubur sejumlah desa di sepanjang Kali Gendol
Editor: Kisdiantoro
TRIBUNNEWS.COM, YOGJA - Muntahan lava pijar Gunung Merapi pada Jumat (5/11/2010) dini hari telah mengubur sejumlah desa di sepanjang Kali Gendol. Seperti Dusun Ngancar dan Banjarsari, Desa Glagaharjo, sejumlah dusun di Desa Kepuharjo serta beberapa desa lainnya. Semuanya masuk wilayah Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejumlah warga dan petugas yang membantu proses evakuasi menyatakan, bila beberapa desa itu kini telah terkubur lava pijar serta material vulkanik Munung Merapi. “Desa sudah hancur,” kata Sriyono, tokoh masyarakat desa Glagaharjo, Jumat (5/11/2010) saat ditemui di penampungan pengungsi GOR Maguwo.
Saat terjadi letusan dahsyat dini hari tadi, lanjut Sriyono, warga benar-benar panik. Mereka yang berada di pengungsian maupun beberapa warga yang sengaja menjaga barang berharganya di rumah, lari tunggang langgang.
“Lava pijar mengalir dibarengi suara gemuruh yang memekakkan telinga. Getarannya besar hingga mengguncang rumah penduduk. Kami panic,” kata Sriyono.
Dengan suara yang terbata-bata dia mengisahkan bahwa rumah-rumah warga yang berada di pinggir Kali Gendol sudah roboh dihantam lava pijar. Saat terjadi letusan, lava pijar itu meluap dari sungai Gendol kemudian menghantam apa saja yang ada di desa tersebut.
Bahkan, lanjut Sriyono, hingga kini belum ada relawan maupun warga yang berani mendekati desa itu lantaran suhu masih cukup panas.
Di Desa Kepuharjo juga bernasib sama. Perkampungan di tepi Kali Gendol itu dihantam lava pijar. Seluruh warga sudah mengungsi dan belum ada yang berani mendekati desa karena kondisi masih berbahaya. “Kami belum bisa mendekat Mas,” kata Kepala Desa Kepuharjo, Heri Suprapto.
Ketakutan warga atas bencana Merapi masih tergambarkan di barak pengungsian Stadion Maguwoharjo. Seorang pengungsi bernama Nganis, masih gemetaran. Bicaranya juga sudah seperti orang ngelindur. Ia kelihatan masih ketakutan.
Tetapi, suaminya, Sono Pawiro, 85, masih kelihatan tegar. Bisa menerima keganasan Merapi yang memaksanya harus rela mengungsi. Letusan Merapi tahun ini mengingatkannya atas peristiwa erupsi tahun 1969. Pada saat itu erupsi Merapi berturut-turut selama 40 hari. “Letusan ini termasuk sangat besar,” ungkapnya pelan.
Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Sleman, Warsimin, mengisahkan pengungsian bencana Merapi ini melelahkan. Pengungsi harus pindah hingga tiga kali. Menjauh dari zona bahaya yang ditetapkan dalam radius 20 Km dari puncak Merapi.
Kondisi desa-desa di lereng Merapi seperti kawasan mati. Dipastikan semua penduduknya mengungsi. Lingkungan perkampungannya pun juga diselimuti abu vulkanik yang sangat tebal. ”Warga akan tetap mengungsi sampai Merapi sampai benar-benar aman.,” kata Warsiman.
Pengungsian penduduk juga tersebar ke berbagai tempat. Selain di Stadion Maguwoharjo maupun di Youth Center Kabupaten Sleman, pengungsi juga ditampung di sejumlah kampus di Yogyakarta, diantaranya di Universitas Gadjah Mada. Bahkan, ada penduduk yang mengungsi di Kabupaten Gunungkidul dan Bantul.
Penduduk yang tidak mengungsi ke Stadion Maguwoharjo kebanyakan terkendala masalah jalan. Terutama warga kecataman Cangkringan. Mereka tidak berani ke pos pengungsian Maguwojarjo itu lantaran harus menyeberangi sungai Gendol, yang menjadi aliran lava pijar. Sehingga mereka memilih lokasi yang ada di kawasan Sleman bagian timur dan tidak bergabung ke Maguwoharjo.
“Pengungsian masih belum bisa tertata karena kondisinya memang darurat dan sangat panik,” kata Warsimin. (*)