Asih Rindu Mbah Maridjan
Asih, putra ketiga Almarhum Mbah Maridjan, sangat merindukan ayahnya yang meninggal karena sapuan awan panas erupsi Merapi.
Editor: Kisdiantoro
TRIBUNNEWS.COM, JOGJA – Tidak tampak kesedihan di raut wajah Asih, putra ketiga Almarhum Mbah Maridjan, saat ditemui di rumah kerabatnya di Condongsari, Gang Indragiri No 28, Seturan, Sleman, DIY, Minggu (5/12/2010) malam. Namun di lubuk hatinya yang terdalam, sebenarnya ia memendam rindu kepada almarhum bapaknya.
“Saya sangat merindukan almarhum bapak. Pikiran saya terngiang-ngiang pada bapak. Ia orang yang saleh, sabar dan ramah kepada siapa saja,” tutur laki-laki yang saat ditemui mengenakan kemeja batik coklat dipadu sarung bermotif kotak-kotak.
Karyawan Universitas Islam Indonesia ini masih ingat semua tentang Mbah Marijan, dari minuman kesukaan hingga aktivitasnya sehari-hari.
“Bapak gemar minum teh hangat dicampur gula jawa. Bapak juga suka makan klanting, marning, dan peyek,” imbuh bapak dua anak ini.
Ketika ditanya sebesar apa rasa bangganya terhadap almarhum bapaknya, ia menarik nafas panjang sambil sejanak tertegun. “Saya tidak bisa mengungkapkan seperti apa sosok Mbah Maridjan. Dia sosok layak menjadi panutan bagi anak-anaknya,” katanya.
Meski selalu teringat dengan almarhum Mbah Maridjan ditambah dengan rumah serta sawah yang digarapnya di Kinahrejo telah luluh lantak, ia belum tahu apa yang akan dilakukan ke depan.
“Mungkin sudah kehendak Allah. Namun, masa depan tetap saya pikirkan. Bagaimanapun, saya, keluarga, dan warga yang terkena bencana harus bertahan hidup,” katanya sambil sesekali jari-jarinya mengelus-elus anyaman tikar yang ia gunakan sebagai alas.
Asih juga mengaku, bila ia beberapa kali datang ke makam Mbah Maridjan di Dusun Srunen, Glagaharjo, Cangkringan, Sleman. Terutama saat dia merasa kangen dan putus asa dengan nasib yang dialaminya.
Seperti Minggu (5/12) pagi, ia beserta keluarganya menengok rumah yang dulu ia tempati. Kesempatan ini sekaligus ia gunakan untuk ziarah ke makam Mbah Maridjan, kerabat, dan tetangganya di Kinahrejo.
“Saya menengok makam bapak di Srunen dan rumah saya yang kini sudah rata dengan abu dan material vulkanik. Kesempatan peringatan 40 hari erupsi Merapi saya manfaatkan untuk itu,” lanjutnya. (*)