Mama Aleta, Pahlawan Lingkungan Asal Flores Mendunia Hingga San Fransisco
Inilah Mama Aleta, pahlawan lingkungan asal Flores yang mendunia karena kegigihannya melawan kapitalisme perusak alam.
Penulis: Daniel Ngantung
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNEWS.COM, FLORES - Tahun 1996, kehidupan masyarakat suku Molo, Nusa Tenggara Timur terusik oleh kedatangan beberapa perusahaan tambang marmer.
Perusahaan tersebut siap mengeksplorasi gunung Bukit Naususu, gunung yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat.
Buat suku Molo dan sebagian besar rakyat NTT, alam memang dianggap sakral. Alam juga menjadi sumber minuman dan makanan, obat-obatan termasuk mata pencaharian mereka.
Bukan dengan merusaknya, melainkan memanfaatkannya secara bertanggungjawab dengan merawat dan menanam kembali.
Seiring perjalanan waktu, hutan-hutan di area pegunungan mulai ditebang. Alhasil, bencana alam seperti longsor sering menimpa mereka. Debit air pun berkurang.
Siapa yang tidak geram ketika rumahnya dirusak oleh "orang asing".
Muncullah sosok Aleta Baun, seorang pribumi Molo, yang menolak keras kehadiran perusahaan tersebut dan kaum kapitalis lainnya yang ingin mengeksploitasi alam mereka.
Perempuan kelahiran Desa Lelobatan, Molo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, 16 Maret 1963 itu pun beraksi.
"Kami bersemboyan bahwa 'tanah merupakan daging, air merupakan darah, batu merupakan tulang, hutan merupakan pembuluh darah dan rambut'. Maka kami percaya bila atau jika salah satu dari unsur-unsur ini sampai rusak, kami memulai proses kematian dan kehilangan jatidiri kami, maka amatlah penting bagi kami untuk melindungi tanah kami," katanya dalam siaran pers yang diterima TRIBUNnews.com.
Mama Aleta, begitu ia dikenal warga, bukan memprotes dengan spanduk, banner atau aksi brutal seperti yang dilakukan pemrotes biasanya, melainkan dengan menenun.
Aksinya itu dimulai pada tahun 1999.
Awalnya hanya tiga orang yang berpartisipasi. Bermodalkan keprihatinan dan kegigihan, Mama Aleta mencari dukungan dari kampung-kampung.
Perjalanannya hanya mengandalkan kaki. Jarak tempuh dari kampung ke kampung bisa menghabiskan waktu enam jam. Namun itu bukanlah halangan.
Dari tiga orang, sekarang menjadi ratusan orang.