Korban Peringati Tujuh Tahun Lumpur Lapindo
29 Mei menjadi tanggal yang paling diingat oleh korban lumpur Lapindo. Tujuh tahun lalu, lumpur dan gas beracun mulai menyembur
Penulis: Bahri Kurniawan
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- 29 Mei menjadi tanggal yang paling diingat oleh korban lumpur Lapindo. Tujuh tahun lalu, lumpur dan gas beracun mulai menyembur dari bumi Sidoarjo. Sejak itu, warga di tiga kecamatan, Porong, Tanggulangin dan Jabon, harus hidup bersama kehancuran yang ditimbulkan oleh lumpur panas Lapindo.
Dalam rangka memperjuangkan pemulihan kehidupan dan mengingatkan publik luas bahwa kasus lumpur Lapindo belum tuntas, Rabu (29/5/2013), ratusan warga korban Lapindo dari berbagai desa yang tergabung dalam Korban Lumpur Menggugat (KLM), Komunitas Ar Rohmah, Sanggar Al Faz, dan Komunitas Jimpitan Sehat menggelar peringatan tujuh tahun semburan lumpur Lapindo.
Mereka mengarak patung menyerupai Aburizal Bakrie di tanggul penahan lumpur. Di akhir prosesi mereka membuang patung itu ke dalam lumpur panas. Acara ini juga didukung oleh sejumlah lembaga antara lain: WALHI Jatim, JATAM, UPC, Sanggar Sahabat Anak – Malang, Sanggar Merah Merdeka – Surabaya, Sanggar Bocah Dolanan – Pare dan puluhan komunitas dari berbagai wilayah konflik tambang di berbagai propinsi yang hadir sebagai wujud solidaritas publik kepada korban Lapindo.
“Patung ini merupakan simbol siapa yang harusnya bertanggung jawab dalam kasus Lapindo,” tutur Abdul Rokhim, koordinator peringatan Tujuh Tahun Lumpur Lapindo.
Warga ingin menegaskan bahwa seharusnya Aburizal Bakrie-lah yang harus menanggung segala akibat perbuatan menghancurkan kehidupan mereka. Untuk itu, Bakrie harus dihukum secara setimpal. Hingga tujuh tahun kasus Lapindo berjalan, Aburizal Bakrie, pemilik PT Lapindo Brantas seperti tidak terganggu oleh akibat yang ditimbulkan lumpur Lapindo. Bahkan, tanpa malu dia menyatakan diri untuk menjadi calon presiden dari Partai Golkar pada Pemilihan Presiden tahun 2014 nanti.
Selain patung raksasa, warga juga membawa boneka jailangkung berkaos partai politik sebagai sindiran kepada para politisi yang menjadikan Kasus Lapindo sebagai komoditas politik menjelang pemilihan umum. “Para politisi hanya mengobral janji pada korban Lapindo untuk kebutuhan memperoleh suara saja. Namun setelah menjabat, korban pun dilupakan,” kata Muhammad Hidayat, warga Desa Gempolsari.
Korban Lapindo merasakan kehidupan mereka menjadi semakin suram setelah lumpur menenggelamkan tempat tinggal mereka. Kehilangan yang mereka rasakan bukan sekadar kehilangan fisik, tanah dan bangunan, namun juga mencakup seluruh sisi kehidupan sebagai manusia.
“Yang hancur itu bukan hanya rumah dan tanah saja, tapi juga ekonomi, kesehatan dan pendidikan anak-anak kami. Siapa yang mau mengganti itu semua?,” tanya Harwati, warga Siring yang menjadi koordinator komunitas Ar Rohmah.
Selama ini ia mengkoordinir pemulihan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi kelompoknya. Tuntutan dan ungkapan hati korban Lapindo sebagaimana diutarakan Harwati juga dituangkan dalam puluhan wayang kardus yang turut dibawa dalam prosesi arak-arakan, bersama dengan patung raksasa serupa Aburizal Bakrie tersebut.
Gambar warna-warni dan tulisan bernada sindiran dan protes dibawa rombongan korban lumpur Lapindo yang memulai aksinya dari depan taman eks Pasar Porong lama. Prosesi arakan diiringi musik patrol dan perkusi hingga menuju tanggul penahan lumpur Lapindo.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.