Sejumlah Kades Kembali Tolak BLSM
Sejumlah kades di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung yang ikut menolak menolak menyalurkan bantuan langsung sementara
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG -- Sejumlah kades di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung yang ikut menolak menolak menyalurkan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Kepala Desa Cihawuk, Aef Saepuloh mengatakan, pemberian BLSM oleh pemerintah pusat, tidak bisa memberikan solusi atas kondisi kemiskinan masyarakat saat ini. Pemberian BLSM, tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat di desanya.
Pada BLT dulu, dari sekitar 1.800 kepala keluarga (KK), kurang dari 50 persen warga yang mendapatkan bantuan. Padahal, di desanya sebagian besar warga bisa dikatakan masyarakat kurang mampu.
"Warga desa saya kebanyakan menjadi buruh tani. Upah per harinya saja hanya puluhan ribu. Kalau pemerintah menyalurkan BLSM dengan data yang tidak merata, bisa menimbulkan ketidakadilan. Karena banyak warga yang tidak mendapat bantuan tersebut," ujar Aef, Minggu (23/6/2013).
Melihat keadaan seperti ini, lanjut dia, sebagai pemimpin dan aparat pemerintahan paling bawah, ia memilih untuk menolak kebijakan pemerintah terkait BLSM itu. Ia dan sebagian besar para Kades di Kecamatan Kertasari memilih untuk tidak ikut campur dalam urusan pendistribusian BLSM.
"Di sini kami yang langsung berhadapan dengan rakyat. Kalau semua warga kebagian, tidak terlalu masalah. Tapi pada kenyataanya banyak yang tidak mendapatkan. Kalau kami membagi rata jatah BLSM itu, pasti kami disalahkan oleh Pemerintah Pusat. Jadi lebih baik kami tidak ikut campur saja," katanya.
Ia menambahkan, kebijakan memberikan BLSM itu lebih baik diganti dengan berbagai program penguatan atau ketahanan ekonomi desa. Seperti perbaikan insfrastuktur jalan, bantuan permodalan pertanian, pendidikan dan kesehatan. Itupun harus diberikan kepada masyarakat secara merata.
"Saya rasa BLSM itu manfaatnya kurang terasa. Satu minggu saja uang itu sudah bisa habis. Jadi apa manfaatnya bagi warga? Lebih baik digunakan untuk program yang dirasakan semua warga," kata Aef.
Dampak kenaikan harga BBM, aku Aef, memang mempengaruhi kenaikan berbagai harga kebutuhan. Kenaikan berbagai kebutuhan tersebut, karena meningkatnya biaya transportasi. Biaya trasportasi menjadi yang paling berat bagi warganya. Desa yang berbatasan langsung dengan Garut tersebut, harus berbelanja ke Kecamatan Pacet untuk berbelanja. Jarak tempuh ke Pacet selama satu jam harus mengeluarkan biaya Rp 30.000 sampai Rp 40.000 per orang.
"Sebelum ada kenaikan BBM saja, kehidupan sebagian besar masyarakat di sini cukup sulit. Apalagi sekarang, dengan adanya kenaikan harga BBM," ujarnya.
Penolakan BLSM juga dikatakan oleh Kades Cibeureum Atep Ahmad. Menurutnya, pemberian BLSM hanya akan mengadu domba pemerintah desa dengan warga. Bahkan, bisa saja memunculkan konflik antar masyarakat, akibat kecemburuan sosial.
"BLSM ini justru membuat kami susah. Pemerintah Pusat justru mengadu domba kami dengan rakyat. Warga yang tidak mendapat bantuan pasti akan merasa tidak adil. Jadi kami tegaskan, BLSM itu tidak ada manfaatnya, tapi justru menjerumuskan kami," ujarnya.
Ia berharap, pemerintah mempunyai program lain yang lebih bermanfaat. agar tidak terjadi kecemburuan sosial di tengah warga. Pasalnya, saat pembagian BLT dulu, pernah terjadi hal serupa. Bahkan banyak warga yang mencurigai jika pihak desa mengambil bantuan tersebut.
Di Kabupaten Bandung, penolakan BLSM pertama kali dilontarkan Kades Cipelah, Kecamatan Rancabali, Ade, Rabu (19/6) lalu. Ia merasa bantuan tersebut kurang bermanfaat untuk memperbaiki taraf hidup warga. BLSM maupun BLT malah menimbulkan konflik antara masyarakat dengan pihak desa.
"Lebih baik pemerintah memberikan tambahan jatah beras miskin saja. Agar semua warga miskin bisa kebagian," katanya.(aa)