Anak Pengungsi Syiah Sampang Tak Takut Lagi Bertemu Orang Luar
Anak-anak pengungsi Syiah Sampang akhirnya bisa kembali bersekolah
Laporan Wartawan Surya, Musahadah
TRIBUNNEWS.COM – Setelah setahun pendidikannya terbengkalai akibat konflik agama, anak-anak pengungsi Syiah Sampang akhirnya bisa kembali bersekolah, Senin (15/7/2013). Sekolah anak-anak pengungsi digelar di sejumlah unit hunian (kamar) Rusun Puspa Agro, Jemundo, tempat tinggal mereka saat ini.
Senin pagi (15/7/2013), para penghuni Rusun Puspa Agro mulai sibuk mengurus anaknya. Mulai dari memandikan, mendandani serta memakaikan seragam dan sepatu baru. Hari itu adalah hari pertama mereka bersekolah.
Keceriaan terpancar dari wajah anak-anak ini setelah seragam, sepatu dan tas baru dikenakan. Mereka pun melenggang gembira ke salah satu unit hunian untuk memulai proses belajarnya.
Di sana, unit hunian itu sudah disulap laiknya ruang kelas. Ada meja, kursi, papan tulis dan berbagai atribut kelas lainnya seperti lukisan. Khusus untuk taman kanak-kanak (TK) dilengkapi dengan gambar seperti kupu warna-warni yang ditempel di dinding.
Sekolah ini tidak digelar per kelas karena keterbatasan jumlah muridnya. Ada kelas-kelas yang digabung seperti kelas 1 dan 2 SD digabung jadi satu dengan jumlah murid seluruhnya 16 anak. Kemudian kelas 4 dan 6 yang terdiri dari lima siswa juga digabung menjadi satu kelas. Sedangkan kelas 3 tidak diadakan karena tak ada muridnya.
Untuk SMP hanya dibuat satu kelas yakni kelas 7 dengan jumlah murid dua orang. Begitu juga dengan TK yang muridnya ada 11 anak. Sedangkan PAUD, karena jumlah siswanya banyak 18 anak, pembelajarannya dibuat sistem bergilir. Masing-masing giliran terdiri dari sembilan anak yang diberi pelajaran selama dua jam.
Untuk pembimbingnya, mulai PAUD, TK hingga SD masing-masing diajar dua guru. Hal ini dimungkinkan karena setingkat mereka hanya ada guru kelas. Sementara untuk SMP ada delapan guru untuk masing-masing mata pelajaran.
Dalam pengajarannya, meskipun digabung, materi yang diajarkan sama. Seperti kelas 1 dan dua, mereka akan mendapatkan materi pengajaran yang sama dari dua guru yang mengajar secara bergantian.
Sekretaris Dinas Pendidikan Jatim Sucipto mengatakan pembelajaran ini adalah bentuk layanan khusus yang mengacu pada Undang-Undang 24 Tahun 2007. Di proses ini, pihaknya telah menyiapkan sarana prasaranannya termasuk baju seragam, sepatu dan alat tulis.
Baju seragam ada empat setel meliputi baju olahraga, batik, seragam muslim untuk TK PAUD, merah putih untuk SD, biru putih untuk SMP dan pramuka. Masing-masing seragam ini dilengkapi topi untuk SD dan SMPdan kopiah/kerudung unuk TK/PAUD.
”Kami juga menyediakan alat tulis berupa satu tas, buku paket dan alat/buku tulis untuk masing-masing siswa SD/SMP. Sementara untuk TK\PAUD ada tas, buku gambar, mewarnai, keras lipat, alat tulis gambar (crayon),”terang Sucipto saat ditemui usai meninjau lokasi pengungsian Senin pagi (15/7/2013).
Pembelajaran ini hanya sementara sebelum mereka ditempatkan di sekolah-sekolah umum seperti siswa lainnya. ”Kalau saat ini belum memungkinkan kalau mereka harus dicampur dengan siswa lain. Pasti ada perasaan minder atau apapun dan itu tidak baik untuk psikologi mereka,”katanya.
Meski begitu, saat ini anak-anak pengungsi Syiah juga sudah terdaftar sebagai siswa di SD Jemundo 1, 2, SDN Gampang serta SMPN 2 Taman. Sampai kapan hal itu dilakukan? Hal itu tergantung dari perkembangan mereka, terutama perkembangan psikologisnya.
Untuk itu pihaknya akan melakukan evaluasi tiga bulan dan enam bulan untuk mengukur kesiapan psikologis mereka berbaur dengan siswa lainnya. ”Kalau sudah siap, pasti akan kami tempatkan di sekolah umum sesuai dengan nomor induknya,”katanya.
Karena layanan khusus, sekolah ini juga belum memberlakuakn kurikulum 2013, tetapi memakai kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Meski demikian sistem pendidikannya sesuai dengan standar seperti sekolah reguler.
Tokoh pengungsi Syiah, Ustadz Iklil Almilal menyambut baik proses pembelajaran anak-anak syiah.
Sebelumnya dia menginginkan anak-anaknya bisa disekolahkan di sekolah negeri yang berada di sekitar kawasan Jemundo agar ada interaksi dengan masyarakat sekitar. ”Tapi dinas pendidikan mempunyai pendapat lain dengan menyelenggarakan pembelajaran di sini. Daripada anak-anak cuma main ya lebih baik belajar seperti ini,”kata saudara pemimpin Syiah Tajul Muluk.
Iklil bisa menerima pendapat Dinas Pendidikan yang mengatakan bahwa psikologi anak-anaknya perlu dibenahi dulu sebelum dibaurkan dengan anak lainnya. Diakuinya pasca konflik yang terjadi, anak-anak Syiah memang mengalami trauma hebat.
”Awal-awal di sini kalau ada orang takut. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Memang sangat penting untuk menghilangkan trauma itu. Semoga dengan sekolah ini psikologis mereka kembali normal dan bisa berinteraksi dengan lingkungannya,” harapnya.