Pendidikan Gratis di Samarinda Hanya Janji
Setelah 3 tahun, pendidikan gratis yang dijanjikan Jaa'Nur sepertinya masih hanya impian bagi sebagian warga Samarinda.
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribun kaltim, Doan Pardede
TRIBUNNEWS.COM, SAMARINDA -- Setelah 3 tahun, pendidikan gratis yang dijanjikan Jaa'Nur sepertinya masih hanya impian bagi sebagian warga Samarinda. Seperti yang dirasakan Kasirah, dengan penghasilan pas - pasan sebagai pemulung, untuk biaya pendidikan anak semata wayangnya ia mengaku masih mengutang Rp 2 juta kepada sekolah
Dalam seharinya, Kasirah memperoleh penghasilan Rp 10 ribu - Rp 25 ribu dari memulung sampah. Uang yang didapat, selain untuk kebutuhan sehari - hari juga untuk biaya pendidikan anak satu - satunya. Biasanya, dengan sepeda ontel dan sebuah karung Kasirah menyusuri seputaran Jl Milono, Kampung Jawa dan Jl Pasundan untuk memulung sampah.
"Kalau lagi banyak bisa sampai Rp 25 ribu. Paling sedikit itu kalau hujan, orang jarang buang sampah.Tapi paling sedikit dapat Rp 10 ribu," kata Kasirah, salah seorang pemulung yang mendapatkan bantuan dalam acara Talk Show yang diadakan Lembaga Dakwah Studi Islam Al-Amin Samarinda (STUDIA) di Mesjid Islamic Centre, Samarinda, Selasa (30/7/2013).
Dalam kesempatan ini, pihak pantia juga memutar video seputar aktifitas sehari - hari Kasirah ketika memulung sampah di berbagai tempat di Samarinda. Hadir sebagai pembicara, Joko Sulistiono yang membawakan tema "Sedekah, Penyejuk Dahaga Di Saat Puasa".
Ditemui usai bercerita dihadapan hadirin yang terdiri dari puluhan siswa SMAN 2 Samarinda dan pengurus Panti Asuhan Qolbun Salim, ia mengatakan anak laki - lakinya saat ini duduk di kelas III SMKN 2 Samarinda. Hutang sebesar Rp 2 juta itu menurutnya adalah biaya awal anaknya masuk sekolah dan hingga kini belum dilunasi. Memang jumlah itu menurutnya dapat dicicil. Tapi dengan penghasilan yang pas - pasan, tetap saja sulit terkumpul. Belum lagi, diawal tahun ajaran ini ia harus mengeluarkan biaya uang buku, perlengkapan sekolah, selain SPP rutin sebesar Rp 150 ribu setiap bulannya. Beruntung menurutnya, masih ada rumah tinggal di seputaran Jl Biawan peninggalan suami yang sudah meninggal setahun lalu, hingga tidak perlu keluar biaya lagi untuk tempat tinggal.
"Memang kepala sekolah waktu rapat masukan itu sudah bilang, tidak akan mengeluarkan murid walaupun belum bayar uang bangku," kata perempuan yang sudah memulung sejak tahun 2005 ini.
Kendatipun demikian, ia mengaku masih cemas dan selalu optimis hutang itu bisa terlunasi. Untuk melanjutkan pendidikan anak ke bangku kuliah menurutnya belum ada rencana. Tapi ia tetap bermimpi, anak satu - satunya itu bisa menjadi orang sukses dan jauh dari dunia pemulung seperti kedua orangtuanya.
"Insya Allah ini masih ngumpul - ngumpulin. Nanti kalau sudah kelas III akan saya usahakan. Kalau tidak ada kan bisa pinjam sama saudara. Kalau sudah mau tamat kan harus, soalnya ijazahnya itu takutnya nggak bisa diambil kalau nggak bayar," kata perantau asal Jawa Tengah ini.
Ada hal menarik juga yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk mensosialisasikan semua programnya kepada semua lapisan masyarakat. Kasirah, mengaku sudah mengantongi kartu jaminan kesehatan dari pemerintah. Namun, ketika sang suami sakit, ia diharuskan membayar Rp 4 juta permalam untuk rawat inap di ICU sebuah rumah sakit di Samarinda.
"Saya diminta bayar Rp 4 juta semalam untuk masuk ICU. Nggak uang suami saya bawa pulang. Besoknya langsung meninggal jam 9 pagi. Ada kartu kesehatan dari RT, tapi nggak tahu gunanya" katanya.
Penanggungjawab kegiatan, Hamka mengharapkan bantuan yang diberikan dapat berguna dan mengangkat taraf hidup masyarakat ke arah lebih baik.
"Untuk ibu Kasirah mungkin bisa sebagai modal usaha nantinya. Supaya tidak jadi pemulung lagi," kata Hamka.