Permintaan Tahu Gejrot Stabil
Agar bisa menutupi harga tahu yang terus naik, pedagang tahu gejrot mengurangi jumlah tahu untuk satu porsi dagangannya.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, CIREBON - Agar bisa menutupi harga tahu yang terus naik, pedagang tahu gejrot mengurangi jumlah tahu untuk satu porsi dagangannya. Selama dua minggu terakhir, harga kedelai terus naik.
"Harga tetap Rp 5.000 seporsi tapi jumlah tahu dikurangi dari sepuluh menjadi delapan demi mengimbangi harga tahu dan bumbu supaya omzet tetap," ujar penjual tahu gejrot, Eman (36), Jalan Jagasatru Utara, Kota Cirebon, Selasa (27/8).
Pilihan lain, ucap Eman, jika pembeli tetap meminta 10 potong tahu per porsi, pedagang tahu gejrot meminta tambahan Rp 1.000.
Eman bersama puluhan penjual pedagang tahu gejrot menyewa kos di Jagasatru Utara. Tiap hari, mereka menerima kiriman tahu gejrot dari Ciledug, Kabupaten Cirebon. Tiap pedagang, ucapnya, ditarget untuk mendapatkan hasil jualan Rp 200.000 per hari.
"Kami menerima sekitar Rp 50.000-60.000 per hari dari hasil jualan itu," katanya.
Harga tahu gejrot Rp 5.000 per porsi lebih murah daripada pada masa Lebaran dengan harga Rp 7.000 tiap porsi. Turunnya harga itu tertolong harga bawang merah dan cabai hijau.
Bawang merah, kata Eman, kini Rp 35.000 per kg dari Rp 50.000-70.000 dan harga cabai hijau naik dari Rp 35.000 ke Rp 15.000 per kg. Ia mengatakan tahu gejrot terbuat dari kedelai impor.
Produsen tahu gejrot, Husen, mengatakan sejauh ini jumlah produksi tahu gejrot stabil meski harga kedelai terus meningkat. "Itu karena permintaan dari pedagang masih banyak," ujarnya ketika dihubungi Tribun melalui ponselnya, Selasa (27/8) sore.
Namun, ia mengakui keuntungannya berkurang lantaran harga kedelai yang naik dari Rp 7,5 juta menjadi Rp 9 juta per ton. "Saya belum menaikkan harga tahu kepada pedagang. Sementara ini, produksi tahu itu seperti kerja rodi," katanya.
Husen mengolah sekitar 1,5 kuintal kedelai untuk mengisi 30 meja milik pedagang tahu gejrot. Setiap meja berisi 600 potong tahu.
Sementara Pemilik pabrik tempe, Marjani (61) dan Sutini (55), khawatir harga kedelai menembus Rp 100.000 tiap kilogram. "Kami masih mikir bisa beli keledai lagi atau nggak nantinya," ujar Sutini di rumahnya, Jalan Rajawali, Kota Cirebon, Selasa (27/8).
Jika harga kedelai menembus harga Rp 10.000 per kilogram, ucapnya, usahanya yang dibangun hampir selama 40 tahun terancam ditutup.
Industri tempe rumahan itu rata-rata bisa menghabiskan empat ton kedelai per bulan sekitar 1,6 kuintal setiap hari. Namun, sejak beroperasi kembali sesuai libur Idulfitri, pabrik tempe itu hanya mengolah 1,25 kuintal setiap hari. "Padahal, kami sudah menambah modal," kata Marjani.
Marjadi mengaku sepanjang dua hari terakhir, tak semua tempe yang ia hasilkan terjual di pasar.
"Banyak pelanggan yang nggak ambil tempe. Kalau sudah sisa begini, artinya kami rugi," ujarnya. (tom)