Gugat Tambang Tanpa Izin, Lima Hari Warga Pulau Bangka Makan Seadanya di Atas Perahu
Sebanyak 32 warga Pulau Bangka, Minahasa Utara, sudah lima hari bertahan di atas perahu demi bertemu dengan Kapolda Sulut.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, MANADO - Sebanyak 32 warga Pulau Bangka, Minahasa Utara, sudah lima hari bertahan di atas perahu yang ditambatkan di Pantai Malalayang Manado demi bertemu dengan Kapolda Sulawesi Utara Brigjen Pol Jimmy Palmer Sinaga.
Para warga Pulau Bangka yang rata-rata sudah berusia paruh baya itu datang dari Pulau Bangka dan tiba di Pantai Malalayang Manado pada Selasa (6/5/014). Kedatangan mereka untuk bertemu dengan Kapolda Sulut demi membicarakan aktivitas PT Mikgro Metal Perdana (MMP) yang dinilai tanpa izin dan melanggar hukum.
Namun mereka harus kecewa karena hinga Jumat (9/5/2014) tak juga berhasil bertemu dengan Kapolda Sulut. Sebelumnya warga dijanjikan bertemu pada Rabu (7/5/2014) namun dibatalkan. Selanjutnya dijanjikan bertemu pada Jumat pagi, lagi-lagi warga harus kecewa karena pertemuan kembali ditunda pihak Polda Sulut. Mereka dijanjikan bisa bertemu kapolda pada Senin (12/5/2014) pekan depan.
"Kami rakyat kecil memohon bantuan kepada Kapolda Sulut, kepada siapa lagi kami harus mengadu? Hari ini pertemuan batal lagi dan dijanjikan Senin depan. Ya kami harus bersabar dan tetap bertahan di atas kapal hingga Senin depan," ujar Imanuel Tinungke, warga Desa Kahuku, Pulau Bangka.
Ia menambahkan warga yang tinggal di atas kapal saat ini sudah mulai kehabisan stok makanan yang mereka bawa dari Pulau Bangka. "Kami berangkat ke Manado membawa stok makanan seperti kelapa, ubi, beras, ikan garam. Tapi untuk stok dua atau tiga hari saja. Sekarang stok mulai menipis, tapi kita tetap bertahan demi memperoleh keadilan," ujarnya.
Dijelaskan, rencana mereka bertemu Kapolda Sulut untuk menyerahkan berkas salinan Keputusan Mahkamah Agung nomor 291 K/TUN/2013 yang isinya Uzin Usaha Pertambangan PT MMP tidak sah.
"Namun hingga kemarin mereka terus membawa alat-alat berat ke Pulau Bangka menggunakan kapal besar. Keputusan MA ternyata tidak dilaksanakan. Seharusnya Bupati Minahasa Utara taat hukum dan segera memerintahkan PT MMP menghentikan aktivitasnya," ujarnya.
Saat ditemui Tribun Manado di Pantai Malalayang, ternyata dari 23 orang warga yang datang, siang itu tersisa 13 orang warga saja. Sebagian sudah kembali ke Pulau Bangka .
Warga yang tersisa masing-masing perwakilan dari Desa Lihunu, Kahuku, dan Libas.
Saat itu sekitar pukul 16.30, beberapa wanita berusia kurang lebih 50-an tahun terlihat menggoreng pisang bagi para pria lainnya yang sedang duduk di atas kapal kayu berkapasitas sekitar 20 penumpang. "Selama di sini kami makan ubi, pisang, dan juga ada lauknya, itu yang kami bawa tapi hanya untuk persiapan dua hari," beber Potros warga Pulau Bangka.
Saat ini stok makanan mereka menipis. Begitu juga dengan pakaian yang disediakan hanya untuk dua hari sehingga dengan terpaksa selesai dipakai langsung dicuci kemudian dijemur dan dipakai kembali.
Dalam kapal yang dicat dominan biru berkombinasi putih dan merah tersebut terdapat dua tempat duduk panjang bagi para penumpang yang dijadikan tempat tidur di malam hari bagi mereka dan juga terdapat sebuah WC berukuran sekitar 1 x 1 meter.
Dari ke-13 warga Pulau Bangka yang datang, satu diantaranya mantan perangkat desa pada Tahun 2011 silam. "Pada waktu itu pemerintah semua mendukung pembangunan tambang tersebut, jadi kalau ada perangkat desa menolak investasi, dianggap pembangkang. Lalu saya (yang menolak) diganti orang lain," tutur Merti Mais (36).
Dijelaskan, saat ini alat berat yang sudah ada di Pulau Bangka antara lain empat eskavator, 13 dum truk, empat alat bor, dua loader, dan lainnya. "Bupati Sompi Singal seharusnya melaksanakan putusan MA, tetapi yang terjadi sebaliknya," ujar Merti.
Saat berbincang, tiba-tiba seorang wanita dengan spontan memotong pembicaraan. "Gara-gara tambang sampe so kase tinggal anak (hingga anak ditinggalkan), di Pulau Bangka tidak boleh ada tambang, karena tambang bisa merusak banyak hal," tukas Maria Pardede (58), satu diantara wanita yang sedang menggoreng pisang.
"Harapan kami atas nama masyarakat agar supaya yang pertama patuh hukum dan ke dua harus mengeluarkan PT MMP dari pulau Bangka. Aparat kepolisian yang ada di sana harus ditarik, karena perusahaan tersebut tidak punya izin lagi, kemudian alat-alat di situ makin bertambah," ujarnya.
Sementara itu, Jull Takaliuang, anggota Yayasan Suara Nurani Minaesa yang mendampingi warga menegaska dengan keluarnya Putusan MA tersebut maka kegiatan PT MMP saat ini adalah ilegal dan tidak memiliki dasar hukum. "Mengacu pada Undnag-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, Kegiatan PT MMP itu masul Illegal Minning. Sekarang mereka masih melanjutkan aktivitas pembuatan jalan, penggusuran, pengeboran, dan lainnya. Itu berarti sudah masuk pada tahap produksi, itu ilegal," ujarnya.
Demi Bertemu Kapolda Sulut, Lima Hari Warga Pulau Bangka Makan Seadanya di Atas Perahu