Korban Lapindo Dilarang Sakit
Kematian Muhtadi sempat menyisakan kenangan pahit di bagi Harwati.
Laporan Wartawan Surya, Eben Haezer Panca
TRIBUNNEWS.COM,SIDOARJO - Di Komunitas Ar Rohmah, lanjut Saropah, selain terdapat penghimpunan Jimpitan Sehat, juga telah dibentuk koperasi kecil-kecilan.
Di koperasi itu, para anggota yang berjumlah sekitar 30 orang, bisa meminjam uang sewaktu-waktu saat benar-benar membutuhkan.
Ketua Komunitas Ar Rohmah, Harwati (39) menyebutkan, komunitas yang dia kawal itu saat ini lebih fokus pada upaya penanganan kesehatan dan ekonomi korban lumpur Lapindo yang menjadi anggota.
Selain melalui Jimpitan Sehat dan koperasi, di komunitas tersebut para anggota juga kerap menggelar pelatihan usaha.
“Ada pelatihan membuat kerajinan tangan seperti menyulam dan merajut. Hasilnya beberapa kali kami ikutkan pameran dan dijual. Keuntungannya juga buat anggota,” papar Harwati.
Upaya Harwati mendorong perbaikan kesehatan warga korban lumpur Lapindo di Komunitas Ar Rohmah, didorong masih banyaknya korban yang belum dimasukkan dalam Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) sehingga menyebabkan mereka kesulitan memperoleh layanan BPJS Kesehatan.
Harwati sendiri mengaku terinspirasi perjalanan hidupnya.
Tahun 2008 silam, warga Siring yang kini hijrah ke Desa Candipari tersebut kehilangan suaminya, Muhtadi karena kanker ulu hati. Saat meninggal, Muhtadi berusia 42 tahun.
Kematian Muhtadi sempat menyisakan kenangan pahit di bagi Harwati.
Sebelum meninggal RSUD Sidoarjo menolak merawat Muhtadi. Alasannya Lapindo Brantas belum menyelesaikan tunggakan ke RS.
Padahal, kesempatan satu-satunya kesempatan berobat ketika itu adalah menggunakan bantuan pengobatan yang diberikan Lapindo.
“Dari kejadian itu, saya seringkali kesal kalau mendengar ada orang miskin yang kesulitan dapat pengobatan. Kesannya seperti orang miskin memang benar-benar dilarang sakit,” pungkasnya.