ISKA: SBY, Prabowo dan Jokowi Jangan Diamkan Kasus Intoleransi di Jogja
ISKA meminta Presiden SBY dan dua capres yakni Prabowo Subianto dan Joko Widodo bertindak tegas atas aksi intoleransi agama yang terjadi di Jogja
Editor: Domu D. Ambarita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta mengambil tindakan tegas atas aksi intoleransi agama yang terjadi di Yogyakarta pekan lalu. Masih terkait dengan kasus tersebut, dua clon presiden yang sedang berkompetisi pun, yakni Prabowo Subianto dan Joko Widodo tidak bisa tinggal diam. Mereka diuji kepekaannya untuk ikut menyelesaikan aksi premanisme berkedok agama tersebut.
Ketua Umum Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) Muliawan Margadana di Jakarta, Senin (2/6/2014) mengatakan hal itu terkait dengan aksi kekerasan atas nama agama di Yogyakarta. Kasus pertama dilakukan kelompok intoleran kepada umat Katolik yang menimpa Julius Felicianus dan keluarganya, Kamis lalu. Kemudian jemaah Gereja Kristen Jawi Wetan, di Sleman, Yogyakarta mengalami tindak kekerasan pula pada hari Minggu (1/6/3014) kemarin.
"Saya melihat aksi premanisme yang terjadi sangat terkait dengan politik karena dalam tiga hari berturutan terjadi di daerah yang sama. Semua orang tahu bahwa Yogyakarta adalah pusat kehidupan politik Indonesia mengingat ada 300.000 mahasiswa luar daerah kuliah di Yogyakarta. Berhasil mengacaukan Yogyakarta sama dengan mengacaukan situasi politik apalagi menjelang pilpres," ujar Muliawan.
Muliawan menilai kekacauan berkedok intoleransi agama itu lebih mudah digerakkan dibandingkan dengan konflik horizontal berdasarkan suku. Kekacauan Yogyakarta itu hanyalah pintu gerbang untuk menjadikan Indonesia secara politis ataupun keamanan kacau-balau.
Dengan demikian, Pemerintah Indonesia memang seharusnya turun tangan untuk menyelesaikan kasus Yogyakarta dalam koridor kondisi politik yang aman di seluruh wilayah Indonesia.
"Sultan Hamengkubowono harus dibantu dalam menyelesaikan kasus ini diminta ataupun tidak. Ini bukan masalah dikotomi pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Kasus yang terjadi di Yogyakarta adalah kasus Indonesia, karena Yogyakarta adalah Indonesia kecil dengan kebhinnekaan yang tidak diragukan lagi. Jika ini terjadi intoleransi beberapa kali dalam kurun waktu yang pendek, harus dibongkar semua bentuk ketidakadilan ini," ujar Muliawan yang mengaku prihatin karena aksi kekerasan atas nama agama itu terjadi pada hari lahirnya Pancasila, 1 Juni.
Jika pemerintah pusat atau daerah, dengan alasan apapun, tidak mampu menyelesaikan kasus intoleransi tidak hanya di Yogyakarta, diusulkan, peniadaan kata Bhinneka Tunggal Ika yang ada dalam lambang Burung Garuda.
Dengan mengutip filsuf Indonesia, Drijarkara SJ, Muliawan mengatakan Sila Kedua Pancasila adalah kunci dan sila paling penting, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Karena, jika bangsa Indonesia "tidak manusiawi, adil dan beradab", maka sia-sialah sila-sila yang lain dan bahkan sila-sila lain dapat berubah menjadi jahat dalam praktiknya.
Selain itu, Muliawan menyerukan kepada siapa pun para pendukung masing-masing Capres, untuk tidak mengotori Pilpres dengan tindakan kekerasan dengan berkedok atas nama apa pun. Isu agama dapat dengan mudah memancing masyarakat bertindak irasional dan anarkis.
ISKA juga menyayangkan aparat kepolisian yang kurang bisa mengantisipasi dua kejadian kekerasan dalam pekan yang sama di Yogyakarta. Ia melihat bahwa kejadian ini terjadi secara sistematis dan terorganisasi. "Polisi harus bisa mengungkap aktor intelektual dibalik peristiwa kekerasan di Yogyakarta ini," tutur Muliawan. Polisi, katanya, harus menunjukkan dedikasinya bahwa mereka adalah pengayom masyarakat. Sebab, selama ini aparat kepolisian kurang tegas dalam menindak pelaku kekerasan atas nama agama. (*)