Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Muncul Dualisme Persebaya, Pembinaan Sepak Bola Mandeg

“Waktu RGS mencari penyiar baru, saya langsung ditawari. Sejak 1971 itulah saya dipercaya menjadi penyiar di sana,” ucap

zoom-in Muncul Dualisme Persebaya,  Pembinaan Sepak Bola Mandeg
surya/miftah faridl
Soepangat (64), eks penyiar Radio Gelora Surabaya (RGS) saat menceritakan perjalanan karir yang melekat erat bersama Persebaya, Rabu (11/6/2014). 

TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Dalam dunia penyiaran radio sekaligus pesepakbolaan di Surabaya, Soepangat bukan orang asing.

Sejak 1971 hingga 2001, dia menjadi penyiar sekaligus reporter di Radio Gelora Surabaya (RGS).

Suaranya yang dipancarkan dari stadion Tambaksari, dinanti-nantikan banyak pecinta sepak bola yang tak bisa datang langsung ke stadion.

Pria asli Tambaksari itu lulus SMA pada 1969. Sebelum dapat pekerjaan, ia banyak menghabiskan waktu untuk menyaksikan pertandingan-pertandingan sepakbola profesional maupun amatir di stadion Tambaksari.

Kala tidak ada pertandingan, dia juga sering mampir ke stasiun RGS yang letaknya berdekatan dengan stadion dan rumahnya.

Karena sering ke sana, ia kerap diminta menggantikan para penyiar yang berhalangan bertugas.

“Waktu RGS  mencari penyiar baru, saya langsung ditawari. Sejak 1971 itulah saya dipercaya menjadi penyiar di sana,” ucap suami dari Pudjiatmi ini.

Pada 1975 - 1976, bapak dua anak ini juga dipercaya RGS untuk menjadi reporter sekaligus announcer di stadion Tambaksari ketika Persebaya sedang melakoni laga kandang.

Lambat laun Soepangat kian dikenal. Pada 1978, dia kemudian diminta menjadi pengurus Persebaya yang menangani urusan hubungan kemasyarakatan alias humas.

Tugas itu dia lakoni selama sembilan periode kepemimpinan ketua umum Persebaya.

Sangking lekatnya Soepangat dengan Persebaya, ia  seringkali menolak pekerjaan-pekerjaan yang berpotensi membuatnya berada di tengah-tengah konflik.

“Dulu saya pernah diminta Bupati Lamongan membangun Persela yang bertarung di divisi satu. Saat Persela dan Persebaya mulai sama-sama bersaing di divisi satu, saya minta izin kepada Bupati Lamongan untuk mundur,” urainya.

Soepangat miris melihat kondisi Bajul Ijo, julukan Persebaya, yang terjebak pada konflik berujung dualisme.

Meski demikian, dia menganggap itu merupakan dinamika organisasi yang apabila ditangani secara bijak, akan bisa memberikan hikmah.

Soepangat sedih karena konflik justru terjadi ketika iklim pesebakbolaan nasional sedang bergairah dan banyak warga yang mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah sepak bola.

Dualisme Persebaya membuat proses pembinaan bibit-bibit pesepakbola Surabaya menemui jalan buntu.

“Konflik di Persebaya itu sering terjadi. Tetapi, yang sekarang ini lebih besar. Kalau konflik ini bisa diakhiri secara bijak, tentunya itu akan menjadi bagian dari kekayaan sejarah Persebaya,” pungkas dia. (ben/idl)

Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas