22 Guru Asal Universitas Negeri Manado Terjebak Dalam Baku Tembak
Nyawa 22 guru berstatus Sarjana Mendididik SM3T asal Universitas Negeri Manado yang bertugas di Papua terancam
Editor: Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM.TONDANO - Nyawa 22 guru berstatus Sarjana Mendididik di Daerah Terluar, Tertinggal dan Terdepan (SM3T) asal Universitas Negeri Manado yang bertugas di Papua terancam.
Mereka terjebak dalam baku tembak Brimob- TNI dengan sekelompok orang yang diduga terbagung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam sepekan terakhir ini.
Bahkan, para guru yang sebagian besar berasal dari Minahasa itu belum bisa dipastikan kapan bisa pulang ke kampung halaman. Sebab, kampus berencana menarik mereka pada Selasa (5/8/2014) ini.
Bahkan, dua guru yang berhasil meloloskan diri dari kawasan 'perang' di Distrik Tolikara, tak jauh dari Kabupaten Lanny Jaya, yakni Refol Malimpu dan Andre Christian Tuwo harus kembali ke pegunungan untuk menjemput teman-temannya. Refol dan Andre sebenarnya sudah berhasil turun ke Kota Wamena.
"Tadi pukul 04.00 WIT saya dan Andre naik lagi ke Tolikara menjemput teman-teman guru wanita. Sementara lainnya tetap di Kota Wamena. Di Tolikara mereka tersandera, karena tempat tinggal mereka dipalang OPM. Mereka tak bisa berbuat banyak, sehingga kami memutuskan untuk kembali ke Tolikara," ujar Refol saat diwawancarai via telepon, Senin (4/8/2014) sore.
Menurutnya, perjalanan Subuh menjadi waktu paling aman untuk kembali ke Tolikara. Karena dalam waktu tersebut kondisi dinilai aman.
"Memang harus Subuh agar tak sampai malam. Karena di atas pukul 17.00 WIT kami sudah tak diizinkan keluar, karena Siaga I. Kalau berangkat siang, kami bisa sampai malam di Tolikara. Dan itu rawan sekali. Bersyukur kami boleh tiba dengan selama di sini (Tolikara)," ujarnya.
Selain menjemput teman-temannya, Refol dan Andre juga membantu mengevakuasi barang-barang mereka serta teman-teman yang menunggu di Kota Wamena.
"Hanya saya dan Andre yang diizinkan kembali naik, tak boleh terlalu banyak. Lainnya menunggu di kota, kami mengatur barang-barang mereka. Juga membantu teman-teman wanita kami. Teman-teman SM3T dari Medan sudah ditarik kembali tadi," tuturnya.
Saat diwawancarai, Refol mengaku sedang dalam persiapan kembali ke Kota Wamena. Menurutnya, mereka akan melakukan perjalanan ke kota pada Selasa (5/8) Subuh tadi. "Untuk kembali kami juga harus waspada. Karena peluru bisa mengincar kami kapan saja. Saat naik ke sini (Tolikara), kami beberapa kali dicegat di jalan," ungkap Refol.
Dikatakannya, warga serta murid-murid mereka di sana tak tahu kalau mereka pulang secara mendadak karena insiden penembakkan OPM. Yang mereka tahu, sudah saatnya mereka pulang. "Kami hanya bilang memang sudah waktunya pulang, bukan karena ada insiden tersebut. Kami tak mau mereka merasa sedih," tuturnya.
Selain kepada warga Tolikara, Refol dan kawan-kawan juga tak memberitahukan keadaan mereka yang sebenarnya pada keluarga. Karena tak mau membuat mereka panik.
"Sebagian besar teman-teman di sini tak beritahu keluarga di rumah, takut jangan sampai mereka panik. Kami hanya minta doa agar kami baik-baik saja di sini," ucap Refol.
Saat berada di Kota Wamena, Refol dan teman-teman pun kesulitan tempat tinggal. Tak tahu di mana tempat mereka untuk bisa menginap. Beruntung ada Rukun Keluarga Kawanua yang mau menampung mereka.
"Belum lagi ditambah teman kami dari Tolikara yang baru akan turun. Kami masih mencari tempat penginapan, karena pasti takkan bisa menampung kami 22 orang. Belum lagi biaya hidup yang sangat mahal di Wamena," ujarnya.
Sementara itu, Koordinator SM3T Unima wilayah Papua, Tommy Palapa mengatakan, rencana awal penarikan 22 guru SM3T di Distrik Tolikara diundur.
"Rencananya besok Selasa (hari ini) tapi ada halangan, sehingga harus diundur. Dipastikan minggu ini mereka sudah pulang. Saya yang jemput langsung," ujarnya.
Tommy sendiri yang memerintahkan langsung 22 guru SM3T tersebut untuk segera turun dari pegunungan dan kumpul di Kota Wamena.
"Saya sudah instruksikan pada mereka segera amankan diri di kota, terutama untuk para wanita. Sesegera mungkin mereka berkumpul di kota. Saya sudah laporkan ke pihak rektorat tentang penarikan mereka, dan keselamatan memang diutamakan," jelasnya.
Soal biaya perjalanan pulang para guru, sebenarnya ditanggung oleh negara. Namun karena situasi yang serba mendadak, sehingga pihaknya mengambil tindakan segera.
"Sementara itu mereka pakai uang sendiri, nanti akan diproses mungkin sekitar dua minggu, baru ada pengembalian," tutup Tommy.
Sementara itu, aksi baku tembak antara kelompok separatis bersenjata OPM dengan pasukan Brimob, kembali kembali terjadi di Kabupaten Lany Jaya, Papua, Senin pagi. Tepatnya di Kampung Jiwili dan Wiremgambur itu pecah pada pukul 06.50 waktu setempat.
Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Namun, mata seorang anggota Brimob terkena peluru rekannya sendiri.
Dari data yang berhasil dihimpun, aksi baku tembak terjadi saat rombongan anggota Brimob mengendarai Mitsubishi Strada bertolak dari Tiom, ibu kota Lany Jaya, menuju Distrik Indawa. Saat itu mereka hendak menjemput pejabat di Sekretariat Daerah Kabupaten Lany Jaya, Cristian.
Setibanya di lokasi, mereka tiba-tiba diberondong tembakan dari atas gunung. Aksi itu kemudian dibalas anggota Brimob. Baku tembak terjadi beberapa menit.
Mendapat perlawanan, kelompok OPM kemudian menghentikan aksinya dan kembali masuk hutan. Sedangkan salah satu anggota Brimob terkena selongsongan peluru rekannya di bagian mata.
Juru Bicara Kodam XVII Cenderawasih Letkol Rikas Hidayatullah membenarkan insiden itu.
"Ada gangguan dari kelompok bersenjata terhadap rombongan pasukan Brimob, sempat tejadi baku tembak, namun tidak ada korban," katanya.
Pasukan Brimob kemudian berhasil mengevakuasi pejabat itu dari Distrik Indawa menuju Distrik Tiom.
Aksi penembakan oleh kelompok separatis bersenjata terus merebak di Lanijaya dalam sepekan terakhir. Dua personel polisi dan 5 anggota OPM tewas dalam serangkaian aksi itu.
Tak Sempat Pamit Murid
Sebelas bulan menjadi guru bagi anak-anak Sekolah Dasar di Distrik Tolikara Papua, membuat hubungan emosional 22 guru SM3T Unima dengan mereka begitu kental.
Hanya bertugas selama satu tahun, membuat mereka menyadari betul pasti akan ada perpisahan. Tak hanya anak-anak, tapi juga warga yang hidup berdampingan dengan mereka, yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri.
Waktu yang singkat membuat mereka mendambakan perpisahan yang manis. Bisa berpamitan, foto-foto, atau melukiskan cerita indah di hari perpisahan dengan tanah Papua beserta isinya. Namun, pecahnya konflik OPM belum lama ini, memupuskan semua harapan para guru.
"Bukan perpisahan seperti ini yang kami harapkan. Kami tak bisa berpamitan pada anak-anak dan warga yang telah menjadi keluarga kami di sana. Bukan begini akhir cerita yang kami harapkan dari tanah Papua. Berat tinggalkan anak-anak dengan cara seperti ini," ujar Andre Christian Tuwo, Guru Pendidikan Sejarah SM3T Unima.
Sebenarnya, jadwal kepulangan mereka baru akan dilakukan pada September 2014, sebulan dari sekarang. Namun, Rabu (6/8/2014) mereka sudah harus ditarik dari lokasi tersebut. "Semuanya serba mendadak. Jangankan pamit, barang-barang kami saja sudah tak diperhatikan. Keselamatan menjadi hal yang sangat berharga," tuturnya.
Berbagai cerita berkesan dialami Andre dan teman-temannya di sana. Pelajaran hidup berharga tentang perjuangan dalam kesederhanaan, ketulusan memberi dan hidup penuh syukur dirasakan mereka. "Di sini kami dibekali pelajaran yang sangat mahal untuk hidup," tandasnya.
Dari konflik OPM yang ingin memisahkan diri dari Indonesia, Andre dan Refol menyebut Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati.
"NKRI harga mati. Kami para guru berjuang di tanah Papua. Program SM3T ini juga untuk Indonesia yang lebih baik. Kami bangga jadi orang Indonesia. Semoga konflik ini cepat berakhir," harapnya. (fin)