Teater Pelajar Kini Mulai Tumbuh di Berbagai Daerah
Lagu permainan anak ‘Cublak-Cublak Suweng’, yang dinyanyikan enam bidadari dan seorang remaja, mengawali pertunjukan Kelompok Teater Sirpong
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS,COM, MALANG – Lagu permainan anak ‘Cublak-Cublak Suweng’, yang dinyanyikan enam bidadari dan seorang remaja, mengawali pertunjukan Kelompok Teater Sirpong di Lantai II gedung Fakultas Seni dan Budaya, Universitas Negeri Malang (UM), Rabu (29/10/2014) siang.
Saat itu mereka tengah memainkan kisah Bidadari Serayu. Kisah tersebut merupakan adaptasi dari Cerita Pendek berjudul sama karya Sungging Raga. Kisah ini ditampilkan untuk mengikuti Festival Teater SMA/SMK UM di gedung tersebut.
Dalam versi kelompok teater dari SMA Negeri 1 Trenggalek ini, dikisahkan para remaja itu bermain di Sungai Serayu. Saat permainan bersama para bidadari sedang seru-serunya, remaja pria itu tiba-tiba terjatuh. Tak lama pria itu lalu mati.
Warga yang mendapati jasadnya lalu bertanya-tanya. Apa sebab musabab remaja itu mati misterius. Kyai Subale, paranormal terkenal di kampung itu lalu bercerita penyebab kematian remaja itu adalah bidadari.
Warga yang mulanya tak percaya akhirnya percaya setelah mendapati temuan jasad pria secara beruntutan di sungai tersebut.
Alhasil, warga marah. Sungai Serayu yang semula bersih lalu mereka kotori. Tujuannya, supaya para bidadari tak lagi mandi di sungai tersebut. Pada akhirnya tujuan itu memang tercapai.
Bidadari kini enggan mandi di Sungai Serayu karena kotor. Yang agak menyesakkan, kematian warga secara beruntun ternyata bukan karena ulah bidadari. Penyebabnya adalah kurang hati-hatinya warga saat berada di sungai.
Walau begitu, sesal warga percuma. Mereka kini dihadapkan masalah baru, yakni air sungai itu tak bisa lagi jernih. Kerja keras warga membersihkan sungai itu selalu gagal. Warna sungai itu tetap coklat, dan tak elok lagi dipandang.
Dalam kisah itu, sang sutradara Gigih Setiawan mencoba menjelaskan kalau masyarakat ini senang menuduh, tanpa mencari tahu apa akar penyebab sesungguhnya.
Selain itu, ia juga coba menyampaikan apa yang terjadi di Sungai Serayu tidak perlu disesali. Warga harus menerima, menjaga kondisi Sungai Serayu, termasuk pula menanami berbagai pohon yang ditebang agar sungai tersebut kembali jernih.
Ketua pelaksana festival, Erens Rahman memaparkan kisah Bidadari Serayu merupakan satu dari lima kisah wajib yang harus dimainkan oleh 27 peserta festival teater. Para peserta ini berasal dari berbagai sekolah di Jawa Timur.
“Kisah teater yang kami kedepankan di sini adalah kritik sosial, baik itu di lingkungan, sosial dan budaya,” kata Erens kepada Surya.
Selain kisah Bidadari Serayu, kisah yang lain adalah Cerpen Dokter (Karya Putu Wijaya), Cerpen Tari Pendet (Karya Putu Wijaya), Cerpen Gelar (Karya Daru Zaenal) dan Matinya Seorang Demonstran (Karya Agus Noor).
Di sini, para peserta wajib menampilkan seluruh kisah ini dihadapan penonton festival selama 60 menit. Penampilan mereka ini dinilai oleh para juri, yang merupakan pengajar seni di UM.
Erens menambahkan festival teater ini digelar lantaran dunia teater di kalangan pelajar SMA semakin populer. Ada banyak kelompok teater baru bermunculan belakangan ini. Dari catatannya, festival yang dihelat dua tahunan ini dulu diikuti 20 kelompok saja. Saat ini jumlahnya bertambah.
“Itu baru yang ikut kelompok yang ikut festival, kalau mau meneliti ke sekolah jumlahnya lebih dari itu. Sebab, kami mengirim lebih dari proposal peserta. Banyak yang menghubungi tapi tidak bisa ikut karena banyak alasan,” katanya.
Ia memaparkan motivasi pelajar ikut teater pun beragam, namun umumnya para remaja ini bercita-cita menekuni teater agar menjadi artis. Terlepas dari itu, kemunculan kelompok teater remaja ini patut diapresiasi.