Pengangguran di Bali Didominasi Lulusan Diploma dan Sarjana
“Pengangguran lulusan diploma dan sarjana jika ditotal angkanya paling besar. Mencapai angka 5,97 persen,” ujar Septianan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Kepala Seksi Data dan Laporan Statistik BPS Provinsi Bali, Septiana mengungkapkan angka pengangguran di Bali berada pada titik terendah secara nasional.
Berdasarkan hasil Survei Angkaan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan oleh BPS Bali, pada Agustus 2014, angka pengangguran di Bali hanya 1,90 persen dari total angkatan kerja.
“Angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Bali hanya 1,90 persen. Itu angka TPT terkecil secara nasional,” ujar Septianan, Jumat (7/11/2014) lalu.
Ia menjelaskan, dari total jumlah angkatan kerja per-Agustus 2014, yakni sebesar 2.316.758 jiwa, jumlah pengangguran di Bali berjumlah 44.126 jiwa. Namun yang agak aneh menurut Septiana, jumlah penyumbang terbanyak pada angka pengangguran di Bali justru dari golongan terdidik, yakni lulusan diploma dan Sarjana.
“Pengangguran lulusan diploma dan sarjana jika ditotal angkanya paling besar. Mencapai angka 5,97 persen,” ujarnya.
Ia melanjutkan, sementara diposisi kedua, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menembus angka 4,51 persen dari total jumlah pengangguran. Hal itu juga menjadi sorotan Septiana.
Karena menurutnya, SMK yang notabene dipersiapkan khusus untuk mencetak lulusan dengan spesifikasi siap kerja, ternyata malah banyak yang jadi pengangguran.
Terkait jumlah pengangguran terdidik yang jumlahnya paling besar, Septiana hanya menjawab enteng. Menurutnya, kecenderungan bagi mereka yang punya rekam jejak pendidikan yang tinggi, akan pilih-pilih dalam bekerja. Beda dengan mereka yang hanya lulusan SD atau yang tak sekolah, akan cenderung mengerjakan apa yang ada.
Sementara itu, pengamat pendidikan di Bali, Prof Putu Rumawan Salain menilai bahwa masalah tidak terserapnya golongan terdidik di sektor lapangan kerja penyebabnya sangat kompleks.
Meski Ia masih meragukan kesahihan data dari BPS, terlepas dari itu Ia menyebutkan bahwa ada banyak hal yang tidak singkron antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Misalnya trend dunia kerja yang seringkali difokuskan pada satu sektor. “Kebanyakan sekarang trendnya ingin jadi pekerja kantoran. Jangan heran kalau fakultas pertanian dan peternakan semakin sepi peminat,” ujarnya.
Hal-hal demikian menurutnya merupakan bentuk tidak beragamnya informasi tentang kebutuhan tenaga kerja. Selama ini tawaran yang seringkali diterima para pencari kerja hanya berkisar pada bidang kantoran.
Sementara itu, perguruan tinggi yang bertugas mencetak manusia-manusia handal juga larut dalam euforia membeludaknya peminat jurusan-jurusan populer, sesuai trend lapangan kerja.
Ia beranggapan, perguruan tinggi harusnya bisa mengendalikan situasi membludaknya peminat jurusan tertentu dengan memberi batasan jumlah penerimaan.
“Maaf saja. Kadang kala universitas fokus menambah jumlah mahasiswa. Tanpa bisa membatasi jumlah mahasiswa jurusan populer. Jika terus-terusan demikian, tentu ada ketidakberimbangan antara jumlah lulusan dengan luasan lapangan kerja,” jelasnya.(*)
Penulis: Muhammad Qomarudin