Kasatpol PP Hukum Anak Buahnya Pungut Puntung Rokok dari Tanah Pakai Mulut
"Menurut saya, itu bukan pembinaan, tapi justru penghinaan, untuk mempermalukan bawahannya,” kata Saifuddin.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Sosiolog yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (FH Unsyiah), Saifuddin Bantasyam SH MA menilai, tindakan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Kasatpol PP dan WH) Aceh Barat, Teuku Samsul Alam terhadap stafnya, Roni Periansyah, bukanlah pembinaan, melainkan penghinaan.
“Menyuruh bawahan memungut puntung rokok dari tanah menggunakan mulut, lalu menendang perutnya, sulit kita terima sebagai bagian dari upaya pembinaan seperti diutarakan Kasatpol PP dan WH Aceh Barat. Menurut saya, itu bukan pembinaan, tapi justru penghinaan, untuk mempermalukan bawahannya,” kata Saifuddin di Banda Aceh, Senin (9/3/2015) kemarin.
Hal itu ia sampaikan saat talkshow cakrawala membedah Salam (editorial) Serambi Indonesia dengan tema “Menghukum Perokok pun Seharusnya Proporsional”. Dialog interaktif itu berlangsung pagi di Radio Serambi FM 90,2 Mhz dengan Redpel Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika yang dipandu oleh host, Nico Firza.
Saifuddin juga mempertanyakan legalitas dari tindakan Kasatpol PP Aceh Barat itu. “Jangan menghukum anak buah di luar aturan. Kekuasaan itu tidak boleh digunakan sekehendak hati,” ujarnya.
Sebagaimana diberitakan terdahulu, sang Kasatpol PP memergoki anak buahnya, Roni Periansyah, membuang puntung rokok di pekarangan kantor. Ia diharuskan sang atasan memungut kembali puntung rokok itu dengan mulut. Setelah itu, Roni disuruh berdiri tegap, lalu ditendang sekali di perutnya. Roni tak terima diperlakukan seperti itu, lalu mengadu ke polisi. Sehari kemudian, Teuku Samsul Alam menyatakan apa yang dilakukannya itu bagian dari pembinaan.
Menurut Saifuddin, meskipun personel Satpol PP itu terbukti berbuat teledor membuang puntung rokok sembarangan, tapi menghukum fisik serta membuat malu sang bawahan adalah bagian dari tindakan premanisme.
Seorang PNS, katanya, harus bertindak sesuai dengan standard operating procedure (SOP) yang berlaku, bukan bertindak sewenang-wenang terhadap anak buah. Bila seseorang PNS melakukan pelanggaran, tambah Saifuddin, maka berikan teguran-teguran, sanksi administrasi mulai dari skorsing hingga pemecatan sebagai PNS, dan tidak boleh memberikan hukuman fisik.
“Saya menilai tindakan itu bukan pembinaan, tapi justru penghinaan kepada anak buahnya,” ujar Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Unsyiah ini.
Meskipun Roni Periansyah diklaim Kasatpol PP memiliki etika kurang baik dan kurang berdisiplin, namun kata Saifuddin, tidak dibolehkan ada tindakan pemukulan dan mempermalukan anak buah. “Jangan karena isu bahwa Roni suka berbuat onar, lalu dijadikan justifikasi untuk menghukum korban dengan hukuman fisik. Ini tidak boleh,” ujar Dosen Fakultas Hukum dan FISIP Unsyiah ini.
Saifuddin menyatakan bisa memahami langkah Roni melaporkan tindakan kesewenang-wenangan atasannya itu kepada pihak kepolisian. “Dengan cara ini, maka akan ada kejelasan nanti di pengadilan siapa yang bersalah dalam kasus ini. Kasus ini juga akan menjadi pembelajaran bagi staf, atasan, para pejabat atau siapa saja yang melanggar aturan, maka akan mendapat hukuman,” ujarnya.
Sementara itu, seorang penelepon, Anwar mengatakan, tidak bijak menghukum anak buah di depan umum, karena itu akan memunculkan dendam. Seorang atasan harus memberikan contoh yang baik bagi anak buahnya dan staf di kantornya.
Sementara, Redpel Serambi, Yarmen Dinamika mengatakan, baik tindakan yang dilakukan oleh staf maupun Kasatpol PP dan WH Aceh Barat itu kedua-duanya salah. Tapi reaksi atasannya terhadap tindakan Roni, ia nilai terlalu berlebihan. “Mudah-mudahan kasus ini bisa diselesaikan secara damai di internal Satpol PP Aceh Barat.”
Di sisi lain, Roni Periansyah yang ditanyai di rumahnya kemarin mengatakan ia dan keluarganya menolak untuk berdamai dalam kasus ini sebagaimana ditawarkan Pemkab Aceh Barat. “Saya minta polisi mengusut kasus ini dan memproses pelakunya. Saya tak mau berdamai dengan pelaku,” kata Roni dengan nada tinggi.
Ia mengaku kondisinya pascainsiden Jumat (6/3) itu makin memburuk: sulit bernafas, susah buang air besar dan air kecil, tak bisa makan banyak, serta tak bisa bicara banyak karena saat bicara terasa sakit di bagian bawah perutnya. “Saya belum bisa banyak bicara dan bergerak, kecuali hanya bisa tidur,” kara Roni Periansyah menahan sakit.
Sementara itu, Sekda Aceh Barat, Bukhari MM mengaku sedang berupaya menuntaskan persoalan ini secara kekeluargaan melalui jalur perdamaian. “Nanti kalau ada upaya perdamaian saya kabarkan kembali,” janjinya. (min/edi)
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |