Penderita Tumor Mata Asal Blitar Merana Belum Disentuh Dokter
"Saya pernah datang ke RS Ngudi Waluyo Wlingi, Selasa (7/4/2015), namun akhirnya disuruh pulang. Pihak rumah sakit beralasan peralatannya tak lengkap"
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Surya, Imam Taufiq
TRIBUNNEWS.COM, BLITAR - Tak punya biaya berobat, Sumono (52) penderita tumor mata asal Desa Ngaringan, Kabupaten Blitar kini hanya pasrah. Sudah berusaha ke rumah sakit tapi disuruh pulang. Alasannya alat operasi tak lengkap.
"Saya pernah datang ke RS Ngudi Waluyo Wlingi, Selasa (7/4/2015), namun akhirnya disuruh pulang. Pihak rumah sakit beralasan peralatannya tak lengkap," ujar Sumono ditemui di rumahnya, Jumat siang (11/4/2015).
Sejak itu Sumono mengaku sudah tak tahu lagi harus berbuat apa agar penyakitnya sembuh. Menurutnya, penyakit tumor yang dideritanya kian hari kian membesar, apalagi jika tak segera dioperasi.
Ia menambahkan selama ini penyakitnya itu belum sekali pun disentuh dokter. "Jangankan buat berobat, buat kebutuhan sehari-hari saja sudah susah," paparnya sambil menahan nyeri karena benjolan di mata kanannya baru saja pecah.
"Terus, saya bersihkan dengan kapas, mau gimana lagi. Uang buat beli kapas, saya dikasih kakak saya," ujarnya sambil menunjukkan kaleng bekas roti, yang dipakai menampung kapas yang habis dipakai membersihkan darah dari hidungnya.
Sumono baru merasakan sakitnya sejak dua bulan lalu setelah muncul benjolan kecil di kelopak mata kanannya. Rasanya gatal sehingga ia ingin sekali menggaruknya terus menerus. Lama-kelamaan benjolan itu membesar dan pecah.
"Kalau hidung dan telinga sih enggak sakit meski mengeluarkan darah. Namun, pada benjolan itu gatal terus," paparnya.
Sumono hanya hidup sendiri di rumah 3x4 meter berlantai tanah. Dinding rumahnya dari anyaman bambu. Rumah dia berada di atas tegalan milik kakaknya, Muryono (56). Rumah Sumono terpencil di tepi kali dan berjarak sekitar 50 meter dari rumah lainnya.
Kalau malam, rumah Sumono gelap gulita karena tak ada penerangan lampu apalagi jaringan listrik. Bahkan, air buat masak pun tak tersedia jika tak minta tetanggnya. "Saya sudah cerai dengan istri tujuh tahun lalu, tanpa punya anak. Akhirnya, saya tinggal sendirian seperti ini," ujarnya.
Untuk makan, ia dulu masih bisa bekerja sebagai buruh tani di tegalan tetangganya. Namun, kini ia tak bisa apa-apa. Sekadar jalan saja, harus dipapah karena mengaku kepalanya berat (pening). "Saat ini saya makan diberi kakak saya. Kadang dikasih beras dan saya masak dengan kayu bakar," terangnya.
Sumono mengaku hanya pasrah karena tak punya cara lain mencari biaya operasi. Ia berjanji akan mengobatkan penyakitnya ke RS Saiful Anwar Malang kalau punya uang. "Itu pun kalau disuruh operasi, saya jelas tak mampu," paparnya.
Selama ini ia tak punya surat berobat gratis, seperti Jamkesmas atau BPJS. Baru Rabu (8/4/2015) Sumono memiliki surat keterangan miskin (SKM) dari balai desa. Rencananya, itu akan dipakai mengurus kartu BPJS.
Direktur RSUD Ngudi Waluyo, Wlingi, Loeqy Jana, mengatakan pihaknya tak menolak, melainkan hanya menyarankan padanya agar pengobatan tumor mata Sumono dilangsungkan di rumah sakit yang memiliki peralatan lengkap.
"Di rumah sakit sini, peralatannya belum lengkap buat melakukan operasi tumor seperti itu," papar Sumono.