Terkatung-katung Gak Jelas Nasibnya, Pengungsi Rohingnya Pilih Kawini WNI
Abu Ahmad, seorang pengungsi Rohingnya, menutur pengalamannya sejak pergi dari Myanmar dan akhirnya terdampar di Medan, Sumatera Utara.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Abu Ahmad, seorang pengungsi Rohingnya, menutur pengalamannya sejak pergi dari Myanmar dan akhirnya terdampar di Medan, Sumatera Utara.
"Saya seorang Muslim Rohingya dari Myanmar. Saya meninggalkan Myanmar tahun 1988 mengikuti orangtua ke Thailand, tapi saya tidak tahu apa yang terjadi di Myanmar ketika orangtua kabur sebab umur saya baru lima tahun.
Ayah kemudian melarikan saya ke Malaysia agar lebih aman. Ketika itu umur saya 10 tahun.
Ayah lalu pulang sendiri ke Myanmar untuk menengok keluarga, antara lain adik dan ada ibu saya. Saya hidup sendiri di Malaysia dan ingin mendaftarkan diri sebagai warga negara, di mana pun.
Tapi saya tidak pernah sekolah. Saya belajar sama anak kecil. Saya cuma diajari (huruf) A-B-C.
Saya kemudian bisa membaca, dan lepas itu, tahun 1998 saya pergi ke UNHCR (Badan Pengungsi PBB), mendaftarkan diri sebagai pengungsi.
Lama sekali menunggu di Malaysia dan tidak juga ditempatkan di negara mana pun. Ada orang bilang, kita bisa bayar orang.
Setelah itu dikatakan kalau kita kasih duit, kalau kita kasih sama agen, kita bisa pergi ke Australia. Oleh sebab itu saya di Malaysia bersiap untuk pergi ke Australia.
Bersama pengungsi-pengungsi lain, saya naik kapal. Saya ditangkap di Bandar Lampung tahun 2010.
Setelah enam bulan katanya akan dibebaskan tapi tidak dibebaskan dan dimasukkan ke penjara di Pontianak, di Kalimantan. Setelah itu saya dikirim ke Medan.
Umur saya sudah 31. Tapi saya masih punya harapan. Sudah sampai di Medan, saya mendapat harapan (baru).
Saya kawin dengan seorang warga negara Indonesia. Saya pikir, ya, Alhamdulillah. Tapi janganlah ada orang seperti saya lagi. Dimusnahkan harapannya.
Lebih bagus, siapa pun di dunia ini bantulah suku Rohingya ini."
Abu Ahmad bukan satu-satunya pengungsi Rohingya yang menikah dengan warga Indonesia.
Setidaknya empat dari 248 pengungsi Rohinya yang berada di bawah pengawasan Kantor Imigrasi Kelas I Polonia menikah dengan perempuan Indonesia. Praktik itu tidak dilarang, kendati tidak jelas aturan formalnya.
"Mengenai legal formalnya, tidak bisa dikatakan bahwa itu legal. Apa yang ditemukan di lapangan ialah mereka sudah kawin, istilah sekarang kawin siri. Perkawinannya dilakukan di kampung-kampung. Kita tidak bisa secara frontal (mengatakan) bahwa mereka tidak boleh kawin. (Walaupun) seharusnya karena status mereka pengungsi dan pencari suaka, ya tidak boleh kawin,” kata Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Polonia, Sumatra Utara, Tani Rumapea kepada Rohmatin Bonasir dari BBC Indonesia.