Ditinggal Suami Angkat Senjata, Istri Eks Kombatan GAM Ini Terpaksa Jadi Buruh Menderes Karet
LINAWATI (35) tak mampu menahan haru mengenang kisah saat masih bersama suaminya, Nurdin Ismail alias Din Minimi.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM - LINAWATI (35) tak mampu menahan haru mengenang kisah saat masih bersama suaminya, Nurdin Ismail alias Din Minimi.
Di ujung telepon, suaranya terdengar sedu. Perempuan paruh baya itu seolah memendam harapan besar agar sang suami dapat kembali berkumpul bersama keluarga.
“Saya selalu berdoa agar Bang Din selamat. Kami rindu, anak-anak selalu bertanya di mana ayahnya,” ujar wanita paruh itu saat diwawancarai Serambi, Kamis (28/5) kemarin.
Suaranya haru. Sesekali ia menangis. Din Minimi atau Nurdin bin Ismail Amat, menjadi sosok paling kesohor dalam enam bulan terakhir.
Eks kombatan GAM ini diburu aparat polisi dan TNI karena mengangkat senjata menuntut keadilan Pemerintah Aceh.
Namanya dan para anggotanya juga dikait-kaitkan dengan kasus-kasus penculikan, bahkan kasus terbunuhnya dua anggota Kodim Aceh Utara di Nisam Antara, Aceh Utara, 24 Maret lalu.
Dalam beberapa kali kontak senjata, ia lolos. Namun, empat anak buahnya tewas di Pidie dalam dua kali baku tembak.
Sikap Din Minimi berjuang dengan memanggul senjata, mengubah drastis keseharian sosok mantan kombatan GAM angkatan 1997 itu.
Selain menjadi buronan aparat, Din Minimi juga ternyata sosok seorang ayah yang masih memiliki istri dan tiga anak.
Kini kehidupan Linawati dan anaknya kian tak menentu sejak Din Minimi menjadi buronan aparat. Harap-harap cemas. Khawatir. Sedih dan selalu menanti adalah hari-hari yang mewarnai kehidupannya.
Perempuan paruh baya ini seperti kehilangan sandaran hidup, sejak suaminya Din Minimi bergerilya di hutan dan gunung menuntut keadilan.
“Hampir satu tahun ini saya susah, sedih. Lebih sedih lagi kalau lihat anak-anak yang masih kecil-kecil. Dengan apa saya membiayai hidup mereka sekarang,” ujarnya lirih.
Sejak Din Minimi diburu aparat, praktis Linawati menjadi tulang punggung bagi ketiga anaknya. Ia pun harus bekerja keras membiayai hidup mereka menjadi wanita penderes getah di kebun karet milik warga kampung.
Seminggu Lisnawati hanya mampu menderes 30 kilogram getah. Separuh untuknya dan separuh lagi untuk pemilik kebun. Getah miliknya dijual ke pasar Rp 5 ribu per kilogram.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.