NU Yogyakarta: Perubahan Gelar Sultan Ubah Pondasi Keraton Mataram Islam
PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta menilai perubahan gelar Sultan Hamengku Buwono X melalui Sabdaraja telah mengubah pondasi Keraton dari Mataram Islam.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribun Jogja, M Nur Huda
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA – Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akhirnya bersikap mengenai polemik perubahan gelar Sultan Hamengku Buwono X melalui Sabdaraja. NU menilai perubahan gelar telah mengubah pondasi Keraton dari Mataram Islam.
Dalam keterangan pers yang digelar di kantor PWNU DIY, Selasa (2/6/2015), dijelaskan sikap PWNU ini merupakan hasil musyawarah Pengurus PWNU DIY bersama sejumlah Lembaga dan Lajnah NU, Badan Otonom NU, serta Pengurus Cabang NU se DIY, Minggu (31/5/2015), lalu.
Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU DIY, Jadul Maula menegaskan, PWNU menolak perubahan gelar Sultan melalui Sabdaraja. Gelar Sultan merupakan amanat leluhur yang memuat makna filosofi bahkan teologi yang merupakan manifestasi dari nilai yang dikandungnya.
“Ada stigmatisasi perubahan gelar terhadap Islam. Ibarat rumah yang diganti bukan hanya pintu atau mengganti cat, tapi pondasi. Jadi implikasinya sangat besar," tegas Jadul.
Ia mengungkapkan, selama ini PWNU banyak menampung keresahan masyarakat dan ulama pesantren dari berbagai daerah. Bukan hanya dari sekitar DIY, namun juga dari berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, hingga luar Jawa.
“Pertanyaan mengenai sikap NU dan keresahan ini terus muncul dari seluruh daerah di Indonesia ke kami,” ujar pengasuh pondok pesantren Kali Opak di Piyungan, Bantul ini.
Jadul juga menjelaskan, PWNU memandang bahwa Kasultanan bukan semata institusi politik-ekonomi melainkan sarana mengabdi kepada Allah SWT, dan secara tulus dalam menjaga kemaslahatan seluruh warga masyarakat.
Kemudian, terhadap pernyataan Sultan bahwa perubahan gelar didasarkan atas Dhawuh Gusti Allah melalui para leluhur, yang tidak disertai penjelasan mengenai proses dan tata caranya, dinilai bisa menyesatkan dan menyimpang dari akidah Islam.
Menurut PWNU DIY, lanjutnya, klaim adanya dawuh Gusti Allah yang merupakan wilayah hakikat, seharusnya tidak bertentangan dengan syariat. Klaim seperti itu dikhawatirkan bersifat distorsif dan sarat kepentingan pribadi.
“Hubungan antara hakikat dengan syariat saling menguatkan, dan saling mengontrol. Syariat tanpa hakikat akan rusak, sementara hakikat tanpa syariat akan sesat,” katanya.
Menurutnya, seorang pemimpin wajar jika mendapatkan inspirasi dan aspirasi dari mana saja, baik saran orang terdekat, pertimbangan dari para penasihat, usulan dari masyarakat, ilham dari Allah, bahkan mimpi.
Namun ketika akan menggunakannya sebagai acuan dalam menetapkan kebijakan, harus memikirkan dampaknya dalam jangka panjang. Selain itu pemimpin juga harus mampu menjelaskan bagaimana dampak atas keputusan yang diambil.
"Sultan hanya menjelaskan apa yang disampaikan bahwa Sabdaraja hanya bagian dari wahyu Tuhan. Tidak memperhitungkan implikasi kultural dan sosial," tegasnya.
PWNU tetap berkomitmen menjaga dan mempertahankan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan nilai-nilai dan paugeran yang berlaku. Jika dinyatakan posisi Sabdaraja lebih tinggi dari paugeran, maka hal itu justeru terjadi kemunduran.
“Apalagi bila hal itu mengatasnamakan Tuhan. Ini bisa menjadi preseden buruk bagi kehidupan sosial kita,” kata Jadul.
Selanjutnya PWNU akan terus menggelar dialog dengan masyarakat di daerah sebagai tindak lanjut pernyataan sikap ini. Hal itu agar masyarakat memahami bahwa pondasi Keraton Kasultanan Yogyakarta adalah Mataram Islam yang harus dijaga.