Teman Karib Gus Dur Diminta Hadir ke Tebu Ireng Untuk Benahi NU
"Ane kesini karena diminta oleh Gus Dur, dia datang lewat mimpi yang ngundang gua untuk datang. Gus Dur bilang, Ji bantu gua betulin rumah gua karena
TRIBUNNEWS.COM, JOMBANG - Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang tidak lepas dari sosok Perjuangan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari.
Belakangan Ponpes Tebu Ireng juga kian berkibar atas sosok Presiden RI KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Ribuan nahdliyin saat ini tumpek-blek di Kabupaten Jombang guna menghadiri Muktamar NU ke -33.
Kendati ada yang menjadi peserta maupun sekedar pengggembira, toh kaum Nahdliyin selalu menyempatkan diri untuk berziarah ke makam pendiri NU di Jombang.
Tebu Ireng yang dibangun sebagai punjernya Islam Nusantara, sekarang sedang diuji kekeramatannya. Apalagi baru sehari dibuka telah terjadi perdebatan panjang soal Tatib.
Menurut Masyamsul Huda selaku Sekretaris PWNU DKI Jakarta, bahwa semua ini karena kecelakaan, adanya muktamar dihelat di Jombang. Maka, seperti inilah jadinya. Peran Mbah Hasyim dan Pesantren Tebu Ireng sungguhlah sangat penting, seharusnya dihargai dan dijaga keramatnya.
Kini para ulama menurut orang dekat dari musisi kenamaan Indonesia Ahmad Dhani ini, untuk segera membenahi NU.
"Tanggal 3 Agustus 2015, saya sedang berjalan di makam Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari, juga Gus Dur. Tiba-tiba dirangkul dari belakang. Orang yang merangkul dengan mengagetkan itu, ternyata sahabat dekat Gus Dur yaitu Haji Sulaiman. Dalam perbincangan sekilas. "Apa kabar, Ji?. Kok ketemunya disini?", ucapku.
"Ane kesini karena diminta oleh Gus Dur, dia datang lewat mimpi yang ngundang gua untuk datang. Gus Dur bilang, Ji bantu gua betulin rumah gua karena rumah gua sedang rusak parah", demikian kata Haji Sulaiman yang sekarang terkihat kurus karena sakit deabetes.
Isyarah tentang mimpi yang dilewatkan oleh Haji Sulaiman adalah pesan yang sangat vulgar dari Gus Dur.
"Maka, sebaiknya berhenti menari-nari didepan maakam keramat para Aulia yang sudah bersusah payah membangun peradaban Tebu Ireng. Berhentilah mengumbar nafsu tipu-tipu dan perendahan martabat kita sebagai pewaris peradaban yang dibangun oleh Yang Mulia KH. Hasyim Asy'ari," tukas Masyamsul huda yang juga alumnus POnpes Tebu Ireng itu saat dihubungi melalui handphone, Selasa (4/8/2015).
Menurut pandangan Masyamsul Huda, Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar.
Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar.
Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km.
Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai.
Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah.
Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.
Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf. Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya.
“Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.
Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya.
Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi.
Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak.
Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya.
Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya.
Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.
Tebu Ireng bukanlah tempat sembarangan, kala itu.
Tempat tersebut daerah rawan yang dihuni para penjahat papan atas. Daerah penuh tipu-tipu, gudangnya maling, begal dan perampok.
Tentunya, juga dihuni para pelacur dan hiburan malam yang selalu hadir.
Tebu Ireng kala sebelum Mbah Hasyim datang, adalah lembah dosa yang tiada tandingnya.
Bisa dibayangkan, betapa seramnya kala itu?.
Mbah Hasyim jelas membuat garis demarkasi yang cukup keras, antara pesantren dan komplek para penjahat.
Mbah Hasyim kala itu sudah sangat kaya raya, sawahnya seimbang luasnya dengan aset Pabrik Gula Cukir. Sawahnya terbentang dari Keras hingga Jombok(pernatasan Pare Kediri).
Dengan kekayaan sebesar itu, Mbah Hasyim tentu anti membuat proposal untuk biaya membangun Pondok dan Masjidnya.
Bahkan saking kayanya, Mbah Hasyim membangun gudang pangan untuk menyanggah kebutuhan hari-hari para santri Tebu Ireng, bukan dapur umum sumbangan pejabat dan pengusaha.
"Saya haqqul yaqin, hari-hari ini Mbah Hasyim dirundung kesedihan yang amat sangat.Pondasi peradaban Islam yang dibangun dengan darah dan air mata, sekarang sedang dikotori bahkan dirusak oleh murid-muridnya sendiri," keluh Masyamsul Huda.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.