Industri Pengguna Timah Harus Bertanggungjawab atas Kehancuran Lingkungan di Bangka
Penelitian yang berfokus pada wilayah perairan di Pulau Bangka itu menunjukkan penurunan kualitas ekosistem terumbu karang
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, PANGKALPINANG - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bangka Belitung menyampaikan hasil penelitian yang dilakukan pada periode 16-20 Juni lalu. Penelitian yang berfokus pada wilayah perairan di Pulau Bangka itu menunjukkan penurunan kualitas ekosistem terumbu karang. Penyebabnya adalah sedimentasi yang muncul akibat aktivitas penambangan timah di laut.
Mengingat besarnya kontribusi timah dari Babel terhadap pasokan bahan baku pembuatan handphone atau telepon genggam, Walhi menuntut tanggung jawab perusahaan atas kerusakan tersebut. Tuntutan itu merupakan satu dari beberapa rekomendasi yang dikeluarkan Walhi.
"Perusahaan elektronik harus memastikan timah yang mereka pakai tidak menimbulkan penderitaan (Do No Harm), seperti banyak penambang celaka, meninggal, serta melibatkan anak-anak," kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Bangka Belitung, Ratno Budi belum lama ini.
Ratno mengatakan Bangka adalah penyedia sepertiga timah dunia. Timah itu digunakan perusahaan elektronik merk besar dunia untuk produk elektronik seperti handphone, smartphone, televisi, dan lain-lain.
"Untuk memproduksi 5,6 miliar handphone yang ada di seluruh dunia saat ini, setidaknya dibutuhkan kira-kira 39.200 ton timah solder. Sepertiga dari jumlah kebutuhan bahan baku timah tersebut berasal dari Bangka Belitung," ujarnya.
Alasan itu berdasar karena sepertiga timah dunia berasal dari Indonesia yang notabene 90 persen dari Kepulauan Bangka Belitung.
"Industri global pengguna timah dari Kepulauan Bangka Belitung seharusnya ikut bertanggung jawab atas kehancuran lingkungan yang terjadi akibat penggunaan timah," ujar Ratno.
Dalam melakukan penelitiannya, Walhi menggandeng Friends of the Earth yang berkedudukan di Inggris dan Belanda serta sebuah organisasi bernama IDH yang berbasis di Belanda. Penelitian itu sudah berlangsung sejak September 2013.
Studi penelitian terakhir dipakukan pada 16-20 Juni lalu. Yang menjadi lokasi penelitian merupakan lokasi dimana ada informasi sebaran terumbu karang dari hasil kajian UBB dan di sekitar lokasi tersebut ada kegiatan penambangan timah.
"Dari hasil penelitian di lima titik, di lokasi penambangan laut penghasilan nelayan turun sampai 60 persen. Ini hampir terjadi di setiap wilayah yang ada penambangannya di Bangka Belitung," kata Edo Rakhman, Manajer Kampanye Walhi Nasional.
Pemantauan dilakukan di lima wilayah yang tersebar di Kepulauan Bangka yakni di Tanjung Kalian, Tanah Merah, Teluk Limau, Pulau Ketawai, Rebo dan Karang Rawan. Hasil pengamatan ke lima stasiun di Pulau Bangka dapat disimpulkan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang di wilayah tersebut terus mengalami penurunan.
"Dua lokasi sudah dalam kondisi buruk yakni di Rebo dan Karang Rawan. Sementara dua lokasi dalam kondisi sedang yakni di Teluk Limau dan Karang Haji yang prediksi kedepannya akan terus menurun bila dilihat dari tingginya jumlah karang mati dan Indeks Mortalitas Karang pada kedua stasiun ini," jelasnya.
Selain dari sedimentasi perairan kematian karang juga diakibatkan karena aktivitas kapal tambang dan TI apung yang menghancurkan karang, hal ini bisa dilihat dari banyaknya patahan karang (rubble) pada lokasi pengamatan.
Ratno Budi menjelaskan, limbah penambangan laut di Bangka juga menimbulkan sedimentasi 72 meter kubik limbah setiap tahunnya. Sedimentasi limbah ini yang ditengarai sebagai penyebab kerusakan terumbu karang yang ada dan ekosistem bawah laut lainnya.
Data Walhi Bangka Belitung, 60 persen terumbu karang serta ekosistem bawah laut di perairan Pulau Bangka dalam kondisi rusak dan kritis. Hal ini disebabkan aktivitas penambangan laut dengan pengoperasian kapal isap yang dilakukan sejak tahun 2006 lalu. Ratno Budi mengatakan tak lebih dari 83 unit kapal isap produksi (KIP) yang beraktifitas di hampir seluruh wilayah pesisir (dibawah 4 mil laut) Pulau Bangka.
Rekomendasi
Akibat kerusakan lingkungan yang tidak mendukung pertanian dan nelayan, warga banyak beralih menjadi penambang timah. Penambangan ini dilakukan dengan metode tidak aman. Diperkirakan, sepanjang tahun 2012, rata-rata setiap minggu meninggal satu orang penambang yang tentunya memiliki keluarga, anak dan istri.
Ada empat rekomendasi yang dihasilkan dari penelitian bersama itu. Utamanya adalah penambangan tidak boleh dilakukan bila tak disetujui petani, nelayan, pelaku pariwisata dan masyarakat terdampak.
"Penambangan tidak dilakukan di pantai dan di kawasan, secara keragaman hayati masih baik," kata Ratno.
Sementara itu perusahaan elektronik pengguna timah Bangka bertanggung jawab memulihkan lingkungan darat dan laut yang telah rusak akibat beban keharusan memasok timah dunia selama puluhan tahun.
Minta Reklamasi
Tahun 2016 Pemerintah Bangka Belitung akan meminta pemegang IUP dan IUPK Eksplorasi serta IUP dan IUPK Operasi Produksi untuk melakukan reklamasi.
"Semua perusahaan yang memegang izin tersebut untuk melakukan kegialan reklamasi secara masif dan terencana, sehingga akan mempercepat peningkatan kualitas lingkungan hidup di daerah ini," ungkap Rustam akhir bulan Juli lalu.
Pemerintah juga akan secara khusus meminta PT Timah untuk melaksanakan kewajiban reklamasi pada areal yang pernah digarap.
"Aturan tersebut harus terlaksana karena penempatan jaminan reklamasi oleh perusahaan pertambangan tidak menghilangkan kewajiban untuk melaksanakan reklamasi," tambah Gubernur Babel tersebut. (tea/n9)