Menelusuri Jejak Pahlawan Kemerdekaan Tionghoa Lie Yun Fong di Semarang
Sembari melihat foto ayahnya di dinding, ibu dua anak itu mengatakan bahwa ayahnya berjuang dengan pena atau jadi wartawan.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Banyak pelajar yang tidak mengetahui keberadaan pejuang etnis Tionghoa. Mereka mengaku tidak mendapatkan nama pejuang etnis Tionghoa di mata pelajaran Sejarah. Padahal sebenarnya etnis Tionghoa turut memberi sumbangsih bagi kemerdekaan RI.
Faizal Aditya Bagaskara misalnya. Siswa kelas XII SMAN 1 Semarang ini hanya mengenal sosok Cheng Ho Sam Poo Kong.
"Kalau pejuang etnis Tionghoa saya baru tahu. Sebelumnya belum pernah dengar. Tahunya Laksamana Cheng Ho Sam Poo Kong," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Dimas Aditya. Siswa kelas XII SMAN 1 Semarang baru mengetahui jika ada warga etnis Tionghoa ikut berjuang dalam kemerdekaan Indonesia.
"Siapa saja boleh ikut berpartisipasi. Meski beda ras tapi satu tujuan untuk berjuang bebas dari penjajahan," ujarnya.
Sebuah toko alat tulis di Jalan Pekojan no 50 ternyata menyimpan kisah perjuangan etnis Tionghoa bernama Lie Yun Fong atau Ali Sudjianto pada masa kemerdekaan. Dari luar, Toko Boma yang berada di kawasan Pecinan itu tampak seperti toko lainnya. Aktivitas jual beli layaknya toko juga tidak ada yang spesial.
Namun, begitu masuk di sebuah ruang kerja di bagian belakang toko, atmosfer perjuangan pun tampak. Di sebuah dinding dipajang foto-foto almarhum Lie Yun Fong yang merupakan pejuang 45 bersama Adam Malik. Tak lupa, gambar Presiden Jokowi dan wakilnya Jusuf Kalla juga ada.
"Ayah saya dulu juga seorang pejuang di masa akhir penjajahan Jepang hingga Agresi Militer Belanda yang membuat ibu kota Indonesia pindah ke Yogyakarta," kata Leni Kusumawati (64) atau Lie Ie Tjing mengawali cerita perjuangan ayahnya.
Sembari melihat foto ayahnya di dinding, ibu dua anak itu mengatakan bahwa ayahnya berjuang dengan pena atau jadi wartawan. Satu kantor dengan Adam Malik di Yogyakarta, Ali merupakan salah satu wartawan koran Sin Po dan menulis di tempat lain.
Berdasarkan cerita ayahnya, ketika agresi militer, pihak Belanda melalui NATO tidak hanya menyerang Indonesia secara fisik. Namun juga propaganda melalui media bahwa rakyat Indonesia masih ingin diperintah di bawah Belanda. Kabar itu disebarkan ke dunia internasional.
Ali yang kala itu bisa lima bahasa yaitu Mandarin, Belanda, Inggris, Jepang dan Indonesia, menahan gempuran propaganda itu dengan tulisan sesuai fakta yaitu rakyat Indonesia ingin merdeka.
Mulai 1944 hingga 1949, Ayahnya terus menulis berita perlawanan rakyat Indonesia. Ia tidak hanya menulis untuk lokal tetapi juga mengirimkan tulisannya ke beberapa media internasional seperti BBC.
"Ayah saya cerita bahwa dirinya harus membuat berita kontra agar masyarakat internasional saat itu tahu fakta yang sebenarnya," kata Leni dengan mata sembabnya.
Ia mengatakan saat kemerdekaan banyak etnis Tionghoa yang turut berjuang. Tidak hanya Tionghoa, tetapi seluruh suku di Indonesia berjuang bersama tanpa ada perbedaan apapun. Masing-masing berjuang dengan caranya.
Berbeda dengan ayahnya, paman Leni justru memilih mengangkat senjata di Magelang. Pamannya ikut berjuang di garis depan bersama pejuang lainnya. Ada juga warga Tionghoa yang membantu perjuangan dengan meminjamkan rumahnya untuk pejuang dan tentara.
"Ayah saya bilang bisanya hanya nulis. Karena itu ia berjuang lewat pena atau tulisan," tuturnya.
Lie Yun Fong merupakan pria kelahiran 1909 di Canton atau Guang Zhou, Cina. Ketika kecil, ayahnya sudah berada di Gombong dan bekerja sebagai Sinsei hingga membuka toko obat. Pada umur 18 tahun, selesai sekolah di Hongkong, Lie Yun Fong diminta membantu ayahnya di Gombong.
Kerusuhan di Gombong yang menghabiskan toko milik keluarga, membuat Lie Yun Fong pindah ke Yogyakarta. Sejak saat itulah, perjuangannya mengangkat pena dimulai.
Kemampuannya menguasai beberapa bahasa membuat Lie Yun Fong dilirik pemerintahan Soekarno waktu itu untuk menyortir surat dari pusat. Kemudian sekitar tahun 1950-an, Lie Yun Fong memilih pindah ke Semarang dan membuka toko di Pecinan.
Meski memilih jadi pedagang, bukan berarti ayahnya terlupakan. Pertengahan tahun 1960-an bersama pejuang lain, ayahnya bergabung membentuk pejuang 45 di Jawa Tengah. Hanya 45 pejuang yang terpilih dan Lie Yun Fong jadi satu-satunya etnis Tionghoa yang jadi anggota mewakili pejuang Tionghoa lainnya.
Ketika itu banyak masyarakat yang hanya tahu etnis Tionghoa bergelut di bidang ekonomi. Buktinya, pada saat dilantik tahun 1966 yang berbarengan dengan maraknya demo, banyak mahasiswa yang heran dengan keberadaan Lie Yun Fong di tengah pejuang 45.
"Sempat ayah saya ditanya ikut berjuang apa. Lalu ayah saya menjelaskan sejarah perang yang juga melibatkan etnis Tionghoa," kata anak ke-13 dari 14 bersaudara itu.
Setelah dijelaskan itulah banyak orang yang sadar, bahkan pemerintah pun juga memberi penghargaan. Ketika ayahnya meninggal awal 2.000-an, pemerintah menawari agar dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal.
Namun, atas pertimbangan keluarga, ayahnya dimakamkan pada usia 94 tahun di samping makam istrinya. Pemerintah sempat ingin memasang bambu runcing di makam Lie Yun Fong. Tapi, keluarga juga menolak.
"Selama hidup ayah tidak suka menonjolkan diri. Katanya berjuang itu kewajiban tiap warga negara Indonesia, tidak perlu dibesar-besarkan," ucapnya. (Tim)