Veteran di Perbatasan Ini Hanya Berharap SK-nya Diakui Negara
Veteran pasukan relawan konfrontasi Indonesia–Malaysia yang belum diakui oleh negara itu hanya duduk termenung
Editor: Budi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM. NUNUKAN - Ismail Ahmad dengan tergesa mengenakan kemeja biru lusuhnya, dan menyalami Kompas.com dengan tangan kirinya. Kemeja itu hanya dikenakan tanpa dikancingkan, karena sejak stroke yang diidapnya setahun terakhir, tangan kanannya susah digerakkan.
Dia kemudian beringsut duduk merapat ke dinding ruang tamunya yang sempit, dengan dinding tripleknya yang sudah pada bolong. Suasana dalam rumah di pinggir kali yang yang ditempati Ismail Ahmad bersama istri dan keempat anaknya itu pun tidak terasa istimewa, meskipun saat itu, Senin (17/8/2015), adalah hari kemerdekaan Indonesia ke-70.
Veteran pasukan relawan konfrontasi Indonesia–Malaysia yang belum diakui oleh negara itu hanya duduk termenung memikirkan bagaimana bisa mendapat mesin Dong Feng baru agar perahunya bisa dibawa melaut oleh anak lelakinya yang hanya drop out sekolah dasar, Ismail (16). Perahu itu juga yang dimanfaatkan oleh Ismail Ahmad supaya dapurnya tetap "ngebul".
“Sebulan terakhir rusak. Terpaksa anak saya cari kerja serabutan. Kemarin kerja sebulan dikasih upah Rp 300 ribu, hanya cukup buat makan.” ujar Ismail Ahmad, Senin (17/08/2015).
Di usia senjanya, semangat Ismail Ahmad masih tinggi. Dia mengaku akan kembali melaut mencari kepiting atau ikan selangat jika tangannya bisa digerakkan lagi. Namun sayang, sudah setahun terakhir upaya pengobatan dengan jaminan BPJS Kesehatan yang dijalaninya tidak membawa kesembuhan pada tangannya.
Di tengah kesulitan ekonomi, dirinya memaksa menyisihkan sedikit pendapatan dari anaknya serta pendapatan dari istrinya yang keliling menjual ikan milik tetangganya, untuk memebeli obat dari Tawau, Malaysia.
“Titip sanak keluarga yang di sana. Sekarang lumayan ada sedikit perubahan, meskipun tangan masih kaku tidak bisa digerakkan,” tuturnya.
Meski begitu, sakit tidak menghalangi raut muka Ismail yang berbinar saat diajak berbicara mengenang kembali perjalanannya menjelajahi hutan perbatasan untuk menghancurkan pos tentara Inggris, ketika pecah perang konfrontasi antara Indonesia–Malaysia. Ingatannya juga masih kuat ketika ditanya kapan dirinya mendaftar sebagai pasukan relawan, serta lika-liku perjalanan misinya menghancurkan pos pertahanan pasukan Inggris di Kalabakan.
Ingatan itu masih melekat, termasuk saat bercerita tentang dirinya yang harus berjibaku melawan tentara Inggris yang bersenjata lebih modern. Pertempuran itu mengakibatkan dia terpaksa kehilangan 9 kawan seperjuangannya di Kalabakan.
Ismail sendiri akhirnya sempat ditawan oleh tentara Malaysia dan ditahan di Keke selama 4 tahun. Pria lulusan Sekolah Rakyat setingkat SD ini sebenarnya memiliki peluang masuk TNI usai dibebaskan dari penjara Kota Keke Malaysia. Namun, ketika itu dia lebih memilih menjadi warga negara biasa dan kembali ke Kabupaten Nunukan, kota kelahirannya.
Meski memiliki surat penghargaan dari Presiden Soeharto pada tahun 1967 saat dibebaskan dari penjara Negara Malaysia, serta penghargaan dari Jenderal AH Nasution selaku Menteri Koordinator Kompartemen Pertahanan/Keamanan Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Ismail Ahmad tidak pernah terdaftar sebagai anggota Legiun Veteran di Nunukan.
Tahun 2003, Ismail pernah berusaha mengurus Surat Keputusan (SK) agar masuk sebagai anggota veteran dengan meminta bantuan salah satu tetangganya, Jafar, yang mengaku memiliki saudara di Kodim Tarakan. Untuk mengurus SK veteran tersebut Jafar meminta dokumen asli milik Ismail Ahmad.
Sayang, sejak dibawa Jafar, dokumen yang sangat berharga tersebut raib entah ke mana. Sejak saat itu, harapan mendapat tunjangan sebagai pejuang veteran saat konfrontasi Indonesia-Malaysia ikut melayang.
Beruntung, dirinya masih memiliki salinan kedua surat berharga tersebut. “Dua bulan yang lalu ketua veteran di sini mengusulkan kembali SK veteran. Kata dia, 'Tunggu, tidak lama lagi SK-nya akan turun',” ujarnya.
Meski tidak banyak tunjangan sebagai anggota veteran perang konfontasi Indonesia–Malaysia, tetapi jika SK-nya disahkan, uang tunjangan tersebut dipastikan sangat membantu meringankan beban ekonominya. Apalagi, saat ini di usia yang menginjak 74 tahun, Ismail Ahmad harus menghidupi keempat anaknya yang masih kecil hasil dari perkawinan keduanya, setelah istri pertamanya meninggal dunia.
Meski perayaan HUT RI di Kabupaten Nunukan dilaksankan dengan sangat meriah dengan berbagai perlombaan di Pulau Sebatik, Ismail mengaku tak ada bantuan sedikit pun.
“Tidak ada yang berkunjung ke sini, baik kawan veteran maupun dari instansi pemerintah. Tidak ada juga bantuan apapun, walau sembako. Tidak apa, saya hanya berharap SK saya bisa segera disahkan itu saja,” tutur Ismail Ahmad. ( Kontributor Nunukan, Sukoco)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.