Kisah Perjuangan Buruh Cuci Merenda Mimpi Selama 27 Tahun untuk Naik Haji
Sesekali air matanya pun menetes. Selain karena haru dan syukur yang teramat dalam, dia mengatakan, air matanya menetes karena rasa tak percaya
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH – Nuraini masih tak percaya, tiga potong tas berwarna biru di sudut ruang tengah rumahnya siap menemaninya.
Sepasang pakaian berwarna putih tergantung di atasnya. Semua barang itu siap dibawanya untuk menunaikan ibadah haji tahun ini.
Hari ini merupakan hari yang membahagiakan untuk Nuraini. Dia sudah membayangkan dirinya memakai pakaian putih berkerumun dengan puluhan juta manusia melihat kilatan bayangan kabah, serta berjalan mengelilinginya sambil bertasbih dan bertahmid.
Sesekali air matanya pun menetes. Selain karena haru dan syukur yang teramat dalam, dia mengatakan, air matanya menetes karena rasa tak percaya bahwa mimpinya selama 27 tahun ini akhirnya menjadi kenyataan.
Nuraini (45), sehari-hari berprofesi sebagai buruh cuci. Hidup melajang, Nuraini tinggal bersama kedua orangtuanya yang sudah renta.
Mereka tinggal di rumah orangtuanya di kawasan Geuceu Komplek Banda Aceh. Rumahnya rumah panggung semi permanen, rumah kebanyakan warga Aceh Lama.
“Keinginan saya untuk menunaikan ibadah haji sudah sangat lama sejak saya sekolah di sekolah menengah pertama, sejak saat itu, setiap rupiah yang saya miliki saya tabung sedikit demi sedikit. Saya bukan orang pintar, di sekolah pun pas-pasan, sejak SMP saya bekerja sebagai penjaga anak,” kisah Nuraini menjawab keingintahuan setiap orang yang selalu bertanya kepadanya, Selasa (8/9/2015).
Namun seiring usianya terus bertambah, Nuraini mulai berpindah profesi sebagai tukang cuci. Setelah tsunami melanda Aceh, saat usia Nuraini berkepala dua, ia menjadi menyuci di tiga rumah yang berbeda.
"Setiap hari, dari rumah sana ke rumah sini. Setiap hari itu rutin, mencuci dan mensetrika, saya hanya tamatan SMP dan tidak melanjutkan pendidikan ke SMA, saya memilih mengaji saja di dayah," katanya.
Sebagai buruh cuci, Nuraini berpenghasilan Rp 1 juta per bulannya dari tiga rumah tangga. Dari upah yang didapatkannya inilah, dia rutin menabung demi cita-citanya menunaikan ibadah haji.
Meski sudah menyetor uang muka untuk pelaksanaan ibadah, Nuraini, tak langsung mendapat panggilan naik haji.
Nuraini terdaftar dalam tunggu selama tujuh tahun. Lamanya jadwal menunggu ternyata menjadi berkah tersendiri bagi Nuraini.
Dalam kurun waktu itu, dia terus berusaha mencukupi ongkos naik haji yang masih kurang. Pekerjaan sebagai tukang cuci terus dilakoninya hingga menjelang pemanggilan pelunasan biaya.
“Saya tahu banyak orang tidak percaya kalau saya akhirnya bisa menunaikan ibadah haji, bahkan sejak saya berhenti menjadi buruh cuci tiga bulan lalu, banyak orang bertanya kalau berhenti kerja mau makan apa,” ungkapnya.