Sekitar 100 Wanita Sosialita di Surabaya Jadi ‘Buruh Bangunan’
Apa yang dilakukan para sosialita jika sedang kumpul? Ngrumpi? Arisan? Atau ngemall pilih busana dan aksesoris branded?
Editor: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA – Apa yang dilakukan para sosialita jika sedang kumpul? Ngrumpi? Arisan? Atau ngemall pilih busana dan aksesoris branded? Sosialita yang ini beda. Mereka kumpul untuk bahas rumah siapa yang bisa mereka rombak sehingga jadi layak huni.
Sabtu (17/10/2015) pagi, kampung Tegalsari di pusat kota Surabaya jadi target kegiatan sosial yang para wanita yang bernaung di bawah bendera Habitat for Humanity Indonesia ini.
Setidaknya ada 10 rumah yang ‘digarap’ ramai-ramai oleh para relawan perempuan ini. Ada sekitar 100 orang relawan dibantu warga sekitar bekerja bersama merombak total 10 rumah tersebut.
Di atas bangunan yang sama lalu dibangun kembali rumah yang memenuhi standar kesehatan. “Syaratnya, pemilik rumah harus punya tanah yang bersertifikat. Karena ini bantuan untuk jangka panjang,” cetus Helena Abidin, Women Build Ambasador Habitat for Humanity Indonesia.
Menurut Helena, rumah yang jadi target perombakan didata lebih dulu oleh tim survei. Yang jadi perhatian khusus adalah rumah yang tak punya sanitasi.
Selain melakukan perombakan pada rumah warga, para wanita ini juga memberi penyuluhan mengenai kesehatan. “Kami ingin agar mereka punya pengetahuan lebih tentang perlunya rumah yang sehat, khususnya bagi masa depan anak-anak mereka,” tegas dr Lanny Juniarti, Women Build Leader.
Ditambahkan Lanny, Habitat for Humanity Indonesia melalui program Women Build menargetkan renovasi pada 120 unit rumah penduduk Surabaya. Dari jumlah itu, yang sudah ditangani sebanyak 110 rumah, termasuk 10 rumah yang digarap Sabtu (17/10/2015).
“Sisanya akan kami tuntaskan pada awal 2016,” imbuh Lanny yang juga Presiden Direktur Miracle Aesthetic Clinic Group.
Aksi para wanita sosialita ini kontan disambut gembira warga Tegalsari. “Sebagai buruh cuci tentu saya nggak mampu bikin rumah yang layak. Apalagi sejak suami meninggal,” kata Sumarmi .
Rumah ukuran 1,8 x 7 meter itu dihuni Sumarmi dan enam anggota keluarganya sejak 20 tahun lalu. Rumah yang semula tanpa struktur pondasi itu dibongkar dan kini dibikin bertingkat.
Hal yang sama juga dialami keluarga Marsiti. Nenek usia 75 tahun ini tak bisa menutup rasa bahagianya lantaran rumahnya yang ukuran 9 x 4 meter itu direnovasi. “Darimana mau memperbaiki, anak saya tidak kerja,” tegasnya.
“Ini wujud bahwa kami tak hanya bisa ngrumpi dan arisan. Kami pun siap ngecat dan membantu pekerjaan bangunan lainnya. Kami tentu sangat bahagia bila bisa melihat orang lain bahagia,” tutur Anna Lovely, wiraswastawati yang terlibat jadi relawan Women Build.