Akhirnya Sekolah Tapal Batas Dapat Izin Operasional
“Selama ini mereka kesulitan mengakses pendidikan karena jauhnya perkampungan mereka yang berjarak kurang lebih 4-5 kilometer,” katanya.
Editor: Wahid Nurdin
Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Niko Ruru
TRIBUNNEWS.COM, TRIBUN - Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nunukan, HM Shaberah menerbitkan izin operasional kepada Pengurus Pimpinan Yayasan Ar-Rasyid Cabang Sebatik Tengah untuk menyelenggarakan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darul Furqon.
Sekolah yang lebih dikenal dengan Sekolah Tapal Batas itu selama ini melayani pendidikan anak-anak yang berada persis di perbatasan darat Republik Indonesia-Malaysia di Pulau Sebatik.
“Izin operasionalnya diserahkan Kepala Bidang Pendidikan Madrasah Kanwil Kemenag Kaltim Hj Ity Rukiyah kepada pengurus Yayasan Ar-Rasyid yang diterima Hj Suraida, Jumat lalu,” kata Sayid Abdullah, Humas Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nunukan, Minggu (1/11/2015).
Rukiyah menyebutkan, pemberian izin operasional ini merupakan bukti Komitmen Kementerian Agama, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kaltim beserta Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nunukan untuk meningkatkan kualitas dan memajukan dunia pendidikan khususnya Pendidikan Keagamaan.
“Perjuangan pendidikan dan perjuangan ummat harus digelorakan. Ini komitmen kami,” katanya.
Shaberah menyebutkan, dengan pemberian izin operasional ini kedapan anak-anak yang ada di perbatasan tidak perlu lagi takut dan ragu untuk bersekolah di Sekolah Tapal Batas.
“Karena sudah mempunyai izin resmi yang diakui oleh Pemerintah. Artinya bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah di sini, jika lulus akan mendapatkan ijazah dan dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi,” ujarnya.
Dia juga berharap, kedepan tidak ada lagi anak-anak di perbatasan yang putus sekolah.
Meskipun tinggal diperbatasan yang tertinggal, semangat untuk mendidik generasi muda harus tetap dilanjutkan.
Suraida menyebutkan, peserta didik di sekolah itu merupakan anak-anak warga Indonesia yang orang tuanya bekerja sebagai buruh di perusahaan perkebunan kelapa sawit di Malaysia.
“Selama ini mereka kesulitan mengakses pendidikan karena jauhnya perkampungan mereka yang berjarak kurang lebih 4-5 kilometer,” katanya.