Jika Benar Skizofrenia, Seharusnya Brigadir Pemutilasi Anaknya Dapat Pengobatan seperti Ini
Dokter spesialis skizofrenia, Dr A A Ayu Agung Kusumawardhani SpKJ(K) menegaskan kuncinya pengobatan dini sehingga tidak berdampak jangka panjang.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Robertus Rimawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meski banyak pendapat terkait kasus Brigadir Petrus Bakus, anggota Sat Intelkam Polres Melawi, Kalimantan Barat yang tega memutilasi dua anaknya namun pendapat mengerucut pada ganguan mental Skizofrenia.
Kapolda Kalimantan Barat (Kalbar) Brigjen Pol Arief Sulistyanto menduga Brigadir idap penyakit mental skizofrenia.
Meski dibantah oleh Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti yang menegaskan bahwa Brigadir Petrus Bakus tidak mengalami gangguan jiwa tapi hanya kesurupan namun beberapa ciri-ciri menunjukkan polisi mengidap gangguan skizofrenia.
Dokter spesialis skizofrenia, Dr A A Ayu Agung Kusumawardhani SpKJ(K) menegaskan kuncinya pengobatan dini sehingga tidak berdampak jangka panjang.
Apalagi penyakit ini kurang dipahami sehingga orang cenderung mencari orang pintar yang akan membuat dibawa ke dokter terlambat.
"Akibatnya proses pengobatan terlambat padahal kalau diobati sejak dini mencapai recavery bisa besar," ujar Dokter Agung, saat temu media Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2014 'Living with Schizophrenia' di Jakarta.
Konsep pemulihan saat ini masih dianggap terlalu jauh, padahal sangat diperlukan untuk kehidupan orang dengan skizofrenia (ODS) dalam jangka panjang.
Prevalensi skizofrenia di Indonesia diprediksi akan bertambah.
Jika ODS tidak mencapai recovery maka akan sangat membebani penderita, keluarga dan masyarakat, karena menunda waktu mereka untuk kembali produktif di masyarakat.
Saat awal mempertahankan stabilitas pasien dengan memberikan obat-obatan yang dengan baik, berupaya mengembalikan respon, mempertahanan lalu dilanjutkan mengembalikan pasien fase remisi mempertahankan selama enam bulan sampai recavery dan bisa kembali ke sosial.
Pakar Kesehatan Jiwa, D Eka Viora SpKJ, menambahkan terkait jumlah pengidap di Indonesia.
Selama ini survey kesehatan dasar 2013 hanya mengatakan gangguan jiwa berat dan di antaranya skizofrenia.
Hasil Riskesda 1-2 diantara 1.000 orang pernah mengalami gangguan jiwa berat.