Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Cerita Sertu Yuarso, Babinsa yang Tinggal Tanpa Listrik di Pelosok Papua

Mengenakan seragam tentara lengkap, Yuarso sudah siaga sejak pagi.

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-in Cerita Sertu Yuarso, Babinsa yang Tinggal Tanpa Listrik di Pelosok Papua
Wahyu Aji/Tribunnews.com

TRIBUNNEWS.COM, PAPUA – Panas terik menyengat kulit, menyinari rumah panggung milik Sersan Satu Yuarso (40), seorang Babinsa Komando Rayon Militer Momugu beserta keluarganya.

Terbuat dari kayu, tempat tinggal dengan luas sekitar 50 meter persegi ini berdiri persis di pinggiran Sungai Pomad, Distrik Momugu, Kabupaten Asmat.

Kamis (28/4) siang, dirinya bersama keluarga sibuk menyiapkan tamu istimewa.

Sang istri Rosalinda (38), bahkan masak opor ayam dengan lontong dan kering ikan teri untuk menyambutnya.

Mengenakan seragam tentara lengkap, Yuarso sudah siaga sejak pagi.

Minuman ringan dingin berjejer di meja kayu di balkon rumahnya.

Hari itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo didampingi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Mulyono dan sejumlah pejabat TNI singgah di gubuk miliknya.

Berita Rekomendasi

"Saya ngga pernah mimpi rumah saya bakal didatangi jenderal-jenderal begini," kata Rosalinda kepada awak media.

Sambil sibuk melayani pertanyaan wartawan, wanita kelahiran Yogjakarta dan tumbuh besar di Jakarta ini menggendong putra keduanya yang berusia tiga tahun.

Rumah Rosalinda yang dibangun sendiri oleh suaminya berupa rumah panggung yang tertancap di tanah langsung, terbuat dari kayu serta beratap seng.

Bahan kayu pembuat Yuarso tersebut juga diperoleh dari bekas pembangunan dermaga di sebelah rumahnya.

Tanah di bawah bangunan mereka merupakan tanah milik Dinas Perhubungan Laut.

Hampir tidak ada yang istimewa dari rumah tersebut kecuali keramahan mereka.

Mereka hidup sendirian jauh dari manapun.

Karena kalau mau ke Kabupaten Asmat dan Kabupaten Nduga harus ditempuh dengan menggunakan speed boat.

Sebagai perempuan, dirinya mengaku memiliki rasa takut karena harus berjuang hidup dengan suaminya di tanah yang tak belum pernah dipikirkan sebelumnya.

Namun Rosalinda tetap membulatkan tekad.

"Bismillah saja mas. Allah tidak buta," katanya.

Butuh waktu setengah hari untuk sampai di kediaman mereka.

Dari Jakarta, menggunakan pesawat selama enam jam perjalanan ke Timika, Papua.

Setelah itu, dari Timika menggunakan pesawat kecil Caravan selama satu jam untuk tiba ke Kenyam, Nduga.

Setelahnya menggunakan mobil sekitar dua jam ke Batas Batu, Nduga.

Nah, untuk sampai ke rumah mereka, Anda harus naik speed boat melintasi Sungai Momugu sekitar satu jam.

 

Tinggal Dua Tahun Tanpa Listrik

Hidup tanpa listrik selama dua tahun, dirasakan Yuarso seperti hidup di goa saat malam harinya.

Dia hanya mengandalkan pelita untuk sekedar bisa menerangi rumahnya yang hanya terbuat dari kayu.

"Tapi yang terpenting anak dan istri saya bisa sehat," katanya.

Wilayah Kampung Mumugu yang masuk dalam Distrik Sawaerma ini memang semenjak Indonesia merdeka belum dialiri listrik.

Namun, mimpi adanya cahaya saat malam hari bisa terwujud setelah menerima bantuan genset.

"Ada listrik karena pakai genset, hadiah dari Danrem (Danrem 174/Merauke, Brigjen TNI Achmad Marzuki). Dari dulu gak ada listrik," kata Rosalinda.

Tak hanya bantuan genset yang diterima Yuarso, pria asal Kebumen, Jawa Tengah ini.

Untuk memudahkan pergi ke kota, sekedar membeli kebutuhan pokok dan mengambil gaji, Panglima TNI yang memberikan sumbangan speedboat.

Sebelumnya, untuk pergi ke kota terdekat Rosalinda mesti merogoh kantong pribadi dan menyewa perahu Rp5 juta untuk pulang pergi.

Namun dirinya tak mengeluh membayar mahalnya hidup di pelosok, lantaran belum terbangunnya infrastruktur jalan yang menghubungkan daerah satu ke daerah lainnya.

"Sudah ada speedboat. Sebelumnya saya harus sewa kapal Rp5 juta," katanya.

Gatot, memang tengah meninjau langsung proses pembangunan Jalan Trans Papua.

Selain meninjau pembangunan jalan yang membentang dari selatan ke utara itu, Gatot juga meninjau pembangunan Dermaga Batas Batu dan Mumugu.

Yuarso tampaknya sudah melekat dengan masyarakat asli Mumugu.

Menurut dia, ada setidaknya 73 kepala keluarga dengan 107 jiwa.

Dia merasa punya beban batin untuk meninggalkan mereka.

Selama tinggal di sini, pasangan suami istri ini memberikan pembelajaran untuk masyarakat.

"Sampai saat ini masyarakat tidak boleh saya pergi, saya beban batin untuk meninggalkan mereka," katanya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas