Mahasiswa UGM Jadi Jaksa Terbaik Dalam Kompetisi Peradilan Semu di Leiden Belanda
salah satu anggota delegasi yaitu Wyncent Halim yang menjadi advokat untuk pihak kejaksaan mendapat predikat sebagai jaksa terbaik
Penulis: Khaerur Reza
Editor: Sugiyarto
Laporan Reporter Tribun Jogja, Khaerur Reza
TRIBUNNEWS.COM SLEMAN - Sisihkan 55 tim dari 44 negara, 7 orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang tergabung dalam community of international moot court yaitu komunitas peradilan semu FH UGM berhasil mengharumkan nama UGM sekaligus nama Indonesia di mata Internaional.
Mereka berhasil menjadi semifinalis International Criminal Court Moot Court Competition (ICCMCC) yang digelar di Leiden University Belanda.
Bahkan salah satu anggota delegasi yaitu Wyncent Halim yang menjadi advokat untuk pihak kejaksaan mendapat predikat sebagai The Best Oralist for the Prosecution atau jakasa terbaik dari seluruh peserta kompetisi.
Dalam turnamen yang digelar pada 22-27 Mei 2016 tersebut kontingen yang beranggotakan Kay Jessica, Wyncent Halim, Regina Wangsa, Bidadari Respaty, M. Ryandaru, dan Canna Zahra Octhalia serta dibimbing Guru Besar Hukum Pidana UGM Prof. Eddy OS Hiariej berhasil menyisihkan kontingen-kontingen dari universitas bergengsi seperti National University of Singapore, Leiden University, Chinese University of Hongkong, University of Luxembourg, Freiburg University dan lainnya.
Prestasi ini ,menjadi yang terbaik yang pernah diterima UGM, dalam keikutsertaan sebelumnya mereka paling tinggi hanya mampu meraih posisi 29.
Wyncent Halim yang saat ini masih duduk di seemester 4 FH UGM tersebut mengatkan sangat senang dan bersyukur atas penghargaan yang diterimanya dan rekann-rekan satu delegasinya, baginya ini merupakan hasil kerja keras mereka yang sudah mempersiapkan diri secara intensif dalam setengah tahun terakhir.
Apalagi lawan yang dihadapi juga berasal dari universitas-universitas yang memiliki nama di dunia terutama dalam bidang hukum sehingga menjadi tantangan tersendiri.
"Tantangannya di setiap pertandingan ketemu advokat pemrintah dan korban dari universitas berbeda yang tidak tau seperti apa karena sistem nomer dan acak, sehingga siapapun lawannya kita harus siap, kita sebagai jaksa harus mampu memberikan argumen yang dapat menguatkan," ceritanya.
"Juri-jurinnya juga berat karena langsung dari ICC (International Criminal Court) sendiri," ujarnya menambahkan.
Namun akhirnya perjuangan yang dilakukan dengan menggelar pelatihan secara intens terutama lakukan bedah kasus bahkanhingga malam di kampus berbuah manis.
Prof Eddy OS Hiariej selaku pembimbing mereka mengatakan kesuksesan ini tak lepas dari kerja keras dan ketekunan anak didiknya dalam mengikuti kelas khusus guna persiapan turnamen.
Dengan topik kejahatan melawan kemanusiaan dan kejahatan perang, mereka kadang menggelar bedah kasus hingga larut malam.
"Saya mmakin salut karena mereka ini baru Semester 2 dan 4 padahal yang dikompetisikan adalah materi di semester 5 dan 6, namun mereka mampu melaksanakannnya dengan baik," ujar Eddy. (*)