Direktur Medik RSHS: Arya Permana Bocah Tergemuk Kedua di Dunia
Kasus obesitas yang dialami Aria Permana (10) pertama kali terjadi di Indonesia.
Penulis: Teuku Muhammad Guci Syaifudin
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Teuku Muh Guci S
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG – Kasus obesitas yang dialami Aria Permana (10) pertama kali terjadi di Indonesia. Penanganan kasus Aria pun baru pertama kali dilakukan Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS).
"Kalau kasus obesitas di RSHS memang ada, tapi yang serupa ini baru pertama kali dan ini menarik,” ujar Direktur Medik dan keperawatan RSHS, Nucki Nursjamsi Hidajat, kepada wartawan di wartawan di RSHS, Jalan dr Djundjunan, Kota Bandung, Senin (11/7/2016).
Nucki pun meyakini, obesitas Aria itu masuk kategori terberat di dunia. Hal itu berdasarkan pencariannya di internet tentang bocah tergemuk.
Ia menemukan sejumlah bocah yang memiliki berat badan berlebih dan beratnya tak berbeda jauh dengan Aria.
"Kalau kita cari googling, Aria ini termasuk 10 anak terberat. Di luar itu ada yang terberat, yaitu seorang gadis berusia delapan tahun dengan berat 420 lbs. Aria ini termasuk peringkat kedua karena beratnya mencapai 418 lbs," kata Nucki.
Ketua Tim Dokter Perawatan dan Pengobatan Aria Permana, dr Julistio T B Djais SP A(K). M Kes, mengatakan, kegemukan yang dialami Aria itu termasuk kasus obesitas yang sering terjadi di Indonesia.
Namun dengan berat badannya yang mencapai 190 kilogran, hal itu baru pertama kali ditemukan di Indonesia.
"Jadi kategori obesitas untuk Aria itu jika berat badannya di atas 50 kilogram. Di tempat kami itu banyak, tapi ini berbeda karena beratnya mencapai 200 kilogram," ujar Julistio.
Julistio menambahkan, kasus Aria terbilang unik lantaran dengan beratnya yang sangat berlebih itu tidak ditemukan gangguan atau penyakit metabolik seperti kolesterol, asam urat, dan lainnya.
Padahal penyebab obesitas itu juga biasanya dipengaruhi gangguan metobolisme tubuh.
"Misalnya insulin mendadak berlebih. Insulin itu menurunkan glukosa sehingga ingin makan terus. Untuk kasus ini tidak. Makanya kami pikir ada perilaku atau genetik sehingga dua minggu sudah bisa dipulangkan," kata Julistio.