Operasi Teritorial Sintuwu Maroso Dilanjutkan Pasca Tewasnya Santoso
Operasi teritorial yang direncanakan akan berlangsung selama 90 hari tersebut dilaksanakan di 27 desa dari 17 kecamatan di Kabupaten Poso.
Penulis: Fahrizal Syam
Editor: Sugiyarto
Laporan Wartawan Tribun Timur Fahrizal Syam
TRIBUNNEWS.COM, POSO - Pada saat operasi Tinombala untuk mengejar Kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) berlangsung di Poso, Sulawesi Tengah, Kodam VII/Wirabuana juga menggelar Operasi Teritorial (Opster) yang dimulai sejak 4 Juni 2016.
Operasi teritorial yang direncanakan akan berlangsung selama 90 hari tersebut dilaksanakan di 27 desa dari 17 kecamatan di Kabupaten Poso.
Tujuannya untuk membantu pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan, wawasan kebangsaan dan kesadaran bela negara bagi masyarakat di daerah rawan konflik, khususnya di wilayah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
"Hal tersebut dalam rangka menegakkan kewibawaan pemerintah dan kedaulatan NKRI serta akselerasi pembangunan di daerah," kata Pangdam VII Wirabuana dalam siaran Persnya.
Kegiatan Opster tersebut diklaim telah banyak memberikan dukungan pelaksanaan operasi Tinombala, sehingga membuat kelompok Santoso terdesak ke daerah hutan dan pegunungan karena logistik dan pengaruhnya terhadap masyarakat terputus, sehingga terbatas dalam menjalankan misinya dan mulai mengalami kesulitan dalam mengorganisir kelompoknya.
Setelah diburu selama kurang lebih tujuh bulan, langkah Santoso akhirnya terhenti di Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara.
Santoso yang dikenal sebagai gembong teroris dan bersembunyi di wilayah hutan dan pegunungan di Poso, diyakini tewas pada Senin (18/7/2016), setelah terjadi kontak tembak dengan Satgas Tinombala.
Saat itu, tim Alfa 29 - sektor 2 yang beranggotakan prajurit dari Yonif Raider 515 Kostrad, terjadi kontak tembak dengan kelompok orang terlatih khusus (OTK) yang berjumlah 5 orang di Desa Tambarana pada pukul 17.00-17.30 Wita pada titik koordinat 2027-6527.
Korban tewas dari baku tembak itu adalah seorang laki-laki dengan ciri fisik yang sama dengan Santoso, yaitu berjanggot dan mempunyai tahi lalat di dahi.
Meakipun Santoso telah tewas, kegiatan Opster yang sedang dilaksanakan Kodam VII/Wirabuana itu, dengan melibatkan unsur Polri, Pemda, tokoh agama, tokoh adat dan komponen bangsa lainnya tetap berlanjut.
"Harapan kita Opster ini mampu mendorong dan memacu pelaksanaan pembangunan sehingga potensi masyarakat yang ada di pedesaan dapat didayagunakan secara optimal untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat," jelas Pangdam.
Opster yang digelar TNI di Poso berusaha memberi pencerahan kepada masyarakat bahwa gerakan radikal yang dilakukan Santoso bersama anggotanya, hanya akan menyengsarakan masyarakat.
"Dengan adanya Opster tersebut akan membuat masyarakat menjadi tenang dan percaya diri bahwa NKRI adalah harga mati," tegas Agus.
Untuk merealisasikan program itu, Kodam VII/Wirabuana bekerjasama dengan menteri pertanian dan pemerintah daerah membuka lahan-lahan sawah baru dan membangun irigasi baru, memperbaiki rumah-rumah kumuh, termasuk menanamkan wawasan kebangsaan dan bela negara kepada segenap komponen masyarakat. (*)