Di Merawang, KPK Beberkan Modus Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa
Kasus dengan modus yang sama selalu terungkap, tapi mirisnya praktik itu terus berlangsung hingga saat ini.
Editor: Wahid Nurdin
Laporan Wartawan Bangkapos.com, Dodi hendriyanto
TRIBUNNEWS.COM, BANGKA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan lembaga dan badan usaha pengguna dana pemerintah untuk ekstra ketat mengawasi pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.
Pasalnya, dari temuan KPK, meski sudah banyak terungkap ‘jurus-jurus’ (modus) mengorupsi uang rakyat dari pengadaan barang dan jasa, mirisnya hal yang sama tetap saja terjadi.
“Tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sebagian besar berasal dari pengadaan barang dan jasa. Dari 468 kasus tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, 50 persen atau sedikitnya 224 kasus berasal dari pengadaan barang dan jasa. Selebihnya merupakan kesalahan dalam menggunakan anggaran!,” ujar Larto Untoro, Kabag Pengadaan Unit Layanan Pengadaan (ULP) KPK dalam Sosialisasi Pencegahan Korupsi dan Layanan Pengadaan Barang dan Jasa oleh KPK, di Ruang Pertemuan Rektorat UBB, Balunijuk, Merawang, Bangka, Jumat (21/07/2016).
Bahkan, lanjut Larto Untoro, operasi tangkap tangan (OTT) dengan tersangka sejumlah anggota DPR RI belum lama ini, berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa.
Kasus dengan modus yang sama selalu terungkap, tapi mirisnya praktik itu terus berlangsung hingga saat ini.
Dalam acara yang diinisiasi Wakil Rektor II Prof Dr Ir Agus Hartoko MSc dan dibuka resmi Rektor UBB Dr Ir Muh Yusuf MSi ini, Larto menguraikan begitu besarnya dana pengadaan barang dan jasa di dalam Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN).
Sepertiga dari total APBN tahun 2016, atau sekitar Rp 300 triliun, ia mencontohkan, merupakan belanja modal.
Dana sebesar itu, hemat Larto dari praktik sejumlah kasus korupsi selama ini, sangat mudah ‘dijarah’, antara lain melalui intervensi kewenangan.
Apalagi kelemahan dari instansi pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa umumnya adalah tidak mengetahui lingkup apa yang diperlukan, termasuk mengenai harga.
Praktik memanfaatkan sisi lemah instansi ini pernah dipraktikkan M Nazaruddin (terpidana sejumlah kasus korupsi) dalam ‘menguasai’ berbagai proyek pengadaan barang dan jasa.
Untuk mengarahkan proyek itu, ia menyediakan orang-orang yang memberi masukkan, termasuk rincian kebutuhan dan harga pengadaan barang dan jasa.
“Dalam hal pengadaan Alkes (Alat-alat kesehatan-red), ia bisa menyingkirkan farma-farma (perusahaan) lain. Begitu pula modus di Proyek Hambalang, perusahaan ‘karya’mereka saling membuat penawaran. Sangat mudah melakukan tindak pidana korupsi,” tukas Larto, dalam release yang dikirimkan ke bangkapos, Jumat (22/7/2016).
Untuk mengendus peluang tindak pidana korupsi itu, menurut Larto sebenarnya dapat ditelusuri mulai dari aspek regulasi, aspek perencanaan, aspek pelaksanaan, aspek penyediaan, hingga kepada aspek pengawasan.
“KPK menangani ‘grand corruption’ yang didesain orang tertentu. Hampir sebagian besar kasus yang kita tangani mulai dari proses perencanaan. Pertanyaannya: apakah (proyek) pengadaan itu keinginan atau kebutuhan? Kalau jawabnya: kebutuhan, ‘nah’ mengapa kebutuhan (proyek pengadaan-red) itu diadakan di akhir tahun?,” ujar Larto.
Masih dari aspek perencanaan, modus tindak pidana korupsi itu tampak dari adanya paket-paket titipan dari pimpinan lembaga, pemecahan paket untuk menghindari lelang, Rencana Anggaran Belanja (RAB)/gratifikasi yang bersumber dari penyedia (pihak ketiga) dan pembahasan anggaran yang melibatkan penyedia.
Sedangkan dari aspek pelaksanaan, menurut Larto indikasi peluang ke arah korupsi itu tampak dari HPS (Harga Perkiraan Sendiri) di ‘mark-up’ (dinaikkan), pembuatan syarat lelang yang diskriminatif, arisan lelang, pengadaan langsung, pelaksanaan kontrak tanpa pengawasan, serahterima pekerjaan di bawah standar mutu dan pelaksanaan pembayaran yang tidak sesuai.
“Paket-paket pengadaan langsung, dengan nilai pekerjaan di bawah Rp 200 juta, harus diawasi. Ini bisa menjadi lahan korupsi baru. Kalau di KPK, paket pengadaan langsung harus dibandingkan dengan sekurangnya lima penyedia, dan pemenangnya diumumkan kepada publik.
Mengenai aspek penyedia, larto menyebutkan sebaiknya Unit Layanan Pengadaan (ULP) memiliki basis data (data based) tentang kondisi vendor, dan di akhir tahun harus ada penilaian seputar kemampuan vendor.
“Aspek pengawasan dapat dilihat dari apakah sistem pengawasan yang ada itu ketat dan terpadu. Dan apakah terbuka ke ruang publik atau tidak. Kami di KPK misalnya dalam menentukan HPS melibatkan pengawas internal,” ujar Larto.
KPK sendiri menurut Larto mendorong lembaga atau badan pemerintah menggunakan aplikasi berbasis elektronik, seperti e-budgeting, e-procurement, e-catalog, e-pengadaan langsung, e-kontrak, e-delivery, dan e-payment. Di Surabaya, bahkan sudah menerapkan e-kinerja.
Menjawab kiat-kiat sukses untuk pengadaan barang dan jasa, Larto menunjukkan delapan poin penting. Seperti tidak ada kepentingan dari pimpinan, sumberdaya yang terlibat memiliki integritas tinggi, ULP bersih dan independen, etika dan menandatangani fakta integritas dan memonitor serta melakukan pengawasan rutin.
“Kepada PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) jangan mudah diintervensi oleh pimpinan. Ingat, secara yuridis Andalah selaku KPK yang bertanggungjawab. Tapi bagi kami, KPK, biasanya yang kami sasar adalah Kuasa Pengguna Anggaran atau Pengguna Anggaran. Kendati begitu PPK pun harus diawasi,” ujar Larto.
Ia menyarankan untuk mempelajari dan menerapkan aplikasi pengadaan barang dan jasa yang telah diterapkan di Pemerintah Kota Surabaya. Selain sistem atau aplikasinya sangat bagus karena dibantu oleh Institut Teknologi Surabaya (ITS), pimpinan di sana pun sangat mendukung sistem ini.
“Pengadaan barang dan jasa di sana (Surabaya-red) luar biasa bagus. Kata staf di sana, itu karena Ibu Risma (Walikota-red). Nah, betapapun bagusnya sistem, namun bila atasan ikut campur maka selesailah (sistem itu),” terang Larto. (*)