Pejabat PNS Ditangkap Karena Narkoba, Buktikan Hukuman Mati tak Banyak Beri Efek Jera
Namun hal tersebut ternyata juga tak membuat para pengedar dan bandar narkoba kapok dan jera.
Penulis: Teuku Muhammad Guci Syaifudin
Editor: Wahid Nurdin
Laporan Wartawan Tribun Jabar Teuku Muh Guci S
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG – Pengamat Hukum dan Tata Negara Universitas Padjadjaran, Prof Obsatar Sinaga, menilai, tertangkapnya pejabat di lingkungan pemerintah Kabupaten Bandung Barat (KBB) karena narkoba sangat memalukan negara.
Sebab di kala Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan perang terhadap narkoba, pejabat negara yang seharusnya menjadi contoh justru terlibat penyalah gunaan narkoba.
“Ini juga membuktikan jika hukuman mati tidak memberikan efek jera yang besar. Artinya para pengguna narkoba itu tidak bisa menghilangkan ketergantungan meskipun ada hukuman mati. Di satu sisi ada hukuman mati, tetapi pengguna tetap banyak,” kata Obsatar ketika dihubungi Tribun melalui sambungan telepon, Senin (1/8/2016).
Obsatar pun meniai, kinerja aparat penegak hukum dalam menekan peredaran narkoba di Indonesia sudah melakukannya secara maksimal.
Namun hal tersebut ternyata juga tak membuat para pengedar dan bandar narkoba kapok dan jera.
“Ketika penegakan hukum ditegakakan, pemain narkoba mencari cara untuk tetap bisa memperluas komunitas dengan berbagai cara. Satu di antaranya tidak menyasar kalangan tertentu, tapi semua kalangan termasuk anak-anak dengan model permen,” kata Obsatar.
Obsatar menilai, Indonesia memang sudah berstatus darurat narkoba. Maka dari itu penanganan terhadap kasus narkoba itu harus tegas sehingga memerlukan payung hukum yang bersifat fleksibel atau mengikuti situasi.
“Aparat penegak hukum harus melakukan pemeriksaan rutin dan pemeriksaan terhadap pejabat negara itu dilakukan itu sampai taraf dirinya dan keluarganya. Dan petugas pemeriksa harus memublikasikan hasil pemeriksaan itu,” kata Obsatar.
Terkait dengan status PNS, Obsatar meminta pemerintahan KBB bersikap tegas. Namun tentunya sikap tegasitu harus menunggu keluarnya keputusan pengadilan. Sebab hkum di Indonesia berasaskan praduga tak bersalah.
“Nanti setelah divonis tegas saja dipecat atau sanksi apa yang membuat orang lain tak melakukan hal tersebut. Tidak boleh langsung memvonis orang karena kita berasaskan praduga bersalah,” kata Obsatar. (cis)