''Ketika Kampanye Kami Didekati dan Jadi Eksploitasi Politik, Tapi Pas Jadi Kami Ditangkap''
Keempatnya pun sering kehilangan alat musik lantaran disita Satpol PP Kota Bandung.
Penulis: Teuku Muhammad Guci Syaifudin
Editor: Wahid Nurdin
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Teuku Muh Guci S
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Terbentuk tanpa disengaja pada 2010, kelompok anak jalanan asal Kota Bandung bernama Plago kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Sempat mengikuti festival, kelompok ini dianggap sebelah mata lantaran tidak tergabung dalam komunitas tertentu.
"Dulu kami ikut festival di salah satu hotel di Kota Bandung pada 2013. Tapi fokus yang disorot hanya grup yang tergabung komunitas. Kami yang tidak masuk hanya hanya dianggap pelengkap," kata Zulki Bilal, pemain biola Plago ketika berbincang di Jalan Merdeka, Jumat (12/8/2016).
Tak hanya itu, beberapa personil Plago harus berurusan dengan petugas Satpol PP Kota Bandung meski mengenakan pakaian resmi dari Dinas Sosial Kota Bandung.
Keempatnya pun sering kehilangan alat musik lantaran disita Satpol PP Kota Bandung.
"Dulu kami pernah dapat baju dari dinsos. Namanya program kemeja, jadi di kemeja itu ada tulisan dinsosnya. Katanya kalau pakai kemeja itu, kami kalau mengamen tidak ditangkap. Tapi tetap saja kami ditangkap," kata Zulki.
Sebagai musisi jalanan, Zulki mengaku, sangat ingin mengikuti acara audiensi musik atau festival. Namun ia sendiri tak mengetahui cara mendaftar untuk bisa mengikuti audiensi.
Selama ini pihaknya tak pernah mendapatkan arahan ataupun petunjuk bisa menyalurkan ekpresi ke tempat yang benar.
"Kalau kami inginnya difasilitasi, misalkan salurkan ke hotel. Kalau pemerintah buka mata tidak mungkin kami banyak jalan. Jangan hanya ingin pencitraan dan jangan hanya ingin kepuji saja. Ketika kampanye kami didekati dan menjadi bahan ekploitasi politik, ketika jadi kami didiamkan bahkan ditangkap," kata Zulki.
Zulki mengatakan, Plago tak pernah memaksa pengguna jalan atau pendengar memberikan uang kepadanya. Tak semua anjal, kata dia, memaksa kepada masyarakat untuk memberikan uang receh.
"Yang memaksa itu oknum. Kalau kami, ingin diharga, jangan dipandang sebelah mata kalau belum menikmati karya kami," kata Zulki. (cis)