Membaca 'Kampungku Indonesiaku' Lewat Jepretan Fotografer Italia
Mungkihkah kelak tak ada lagi kampung di Indonesia? Kehidupan khas Indonesia tersebut menjadi daya tarik bagi fotografer asal Italia, Stefano Romano.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Surya, Sulvi Sofiana
SURYA.CO.ID, SURABAYA - Mungkihkah kelak tak ada lagi kampung di Indonesia? Kehidupan khas Indonesia tersebut menjadi daya tarik bagi fotografer asal Italia, Stefano Romano.
Pria yang enggan dipanggil bule dan lebih memilih dipanggil 'Akang,' sebutan laki-laki dalam bahasa Sunda, ini sangat tetrarik dengan keanekaragaman budaya Indonesia. Istri Stef berasal dari Jakarta, Bayu Bintara Fatmawati.
Menurut Stef, mayoritas penduduk Indonesia sangat ramah. Keunikan di setiap gang kecil perkampungan di mana ia harus bangun pagi karena suara tukang sayur, membuat Stef merasa Indonesia sebagai kampungnya.
“Kalau orang Jakarta pulang kampung biasanya ke daerah lain di Jawa atau yang mereka sebut kampung. Saya merasa Indonesia adalah kampung saya,” jelas pria yang mengaku jatuh cinta pada Indonesia, Islam.
Dalam bedah buku yang ia lakukan untuk mengisi Orientasi Mahasiswa Stikosa AWS, Surabaya pada Sabtu (3/9/2016), ia mengungkapkan suka berkeliling ke kampung-kampung di sekitar Jakarta dan Jawa.
Berinteraksi, menjalin hubungan batin dengan semua masyarakat yang ditemuinya di jalan lalu mengabadikannya dalam foto. Foto-foto ini selanjutnya ia bukukan dengan judul 'Kampungku Indonesiaku' oleh Penerbit Mizan. Buku tersebut memuat foto-foto kehidupan kampung di Indonesia, khususnya di daerah Jawa.
“Saya tiga kali ke Indonesia. Saat diminta bikin buku yang terlintas yaitu kampung. Kampung itu seperti pembuluh darah di Indonesia, gang-gang kecil. Ini mulai jarang juga, jadi saya ingin mengabadikan setiap kegiatan di kampung,” ungkap Stef.
Pria yang menghabiskan empat bulan untuk menyelesaikan buku ini mengaku hasil jepretannya menampilkan foto-foto yang menjadi jendela tentang kecintaan dirinya pada kehidupan kampung di Indonesia, selama kunjungannya pada 2011 sampai 2014.
Pesan yang disampaikannya adalah kehidupan kampung asli Indonesia yang mulai tergerus oleh arus modernisasi. Dalam pandangannya, kehidupan kampung merupakan cermin gaya hidup orang Indonesia yang sejuk dan ramah.
Salah satu foto di buku tersebut memperlihatkan anak-anak di Bekasi yang bermain bola sambil mandi hujan, ibu-ibu yang mencuci pakaian di sungai di daerah Batu Jaya, Karawang, kelas kecil pelajaran mengaji di Slipi.
Fotografer profesional Indonesia, Mamuk Ismuntoro, dalam kesempatan bedah buku ini mengungkapkan merasa tertinggal dengan fotografer asing.
Bukan terkait kasta, tapi tentang riset. Iapun mencontohkan sejumlah fotografer asing membukukan karyanya hasil riset di Indonesia, seperti fotografer asal Belanda yang membuat proyek foto terkait pekerja seksual. Fotografer wanita asing juga pernah memotret kembang kuning dan lainnya.
“Kalau dilihat fotonya, pasti semua ngira, ah foto kampung saya juga pernah. Tetapi tidak ada yang konsisten memaknai jal sederhana itu hingga menjadi buku,” ungkap Mamuk kepada Surya.
Dikatakannya, sesederhana apapun hasil jepretannya yang biasa bisa menjadi hal yang baru. Seperti salah satu foto di buku yang memperlihatkan anak-anak di sawah, dan di depan mereka bebek berbaris lewat.
“Ini sehari-hari, yang khas dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Tetapi bisa saja luntur dan tidak akan ada lagi kampung beberapa tahun lagi. Yang ada hanya dokumentasi buku dari fotografer asing,” terang dia.
Menurut Mamuk, saat ini sudah tren memasarkan buku fotografi secara mandiri melalui sosial media. Pendokumentasian lebih pada sejarah Indonesia yang mungkin berpotensi hilang akan lebih bermakna jika dilakukan fotografer Indonesia.