Juhanda Diasuh Ayah Anggota Teroris Jaringan Poso
Juhanda enggan dibina seperti mantan narapidana kasus terorisme lainnya semisal Bom Bali. Ia masuk kelompok ayah Agung Prasetyo, teroris Poso.
Editor: Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, SAMARINDA - Di antara mantan narapidana pelaku bom yang tergabung dalam Koperasi Merah Putih 71, Juhanda tidak dikenal karena dari kelompok lain.
"Saya tak kenal dan tak tahu sama sekali. Intinya dia direkrut oleh ayah Agung Prasetyo," ujar Muhammad Yunus kepada Tribun Kaltim, Senin (14/11/2016).
Juhanda diduga kuat pelempar ransel berisi bom molotov ke muka Gereja Oikumene di Samarinda Seberang, Kalimantan Timur, Minggu (13/11/2016).
Ia pernah menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Banten, karena terlibat bom buku pada 2011 silam.
Di Lapas Tangerang, Juhanda bertemu Agung Prasetyo pelaku teror di Poso. Setelah masa tahanannya selesai, Agung merekomendasikan Juhanda untuk tinggal di rumah ayahnya di Samarinda Seberang.
Baca: Juhanda, Pelempar Bom Molotov yang Tak Mau Dibina
Baca: Habis Dioperasi, Intan Olivia Tak Bersuara Hingga Subuh Lalu Meninggal
Sejak masuk ke Kaltim, penegak hukum sudah memantau gerak-gerik Juhanda. Saat itu polisi tak bisa menangkapnya karena tak ada alat bukti.
Menurut Yunus, Juhanda tak tergabung dalam Koperasi Merah Putih 71, tapi baru proses. Belakangan diketahui ayah Juhanda enggan dibina dan pembangkang, bisa jadi pengaruh dari ayah Agung.
"Organisasi mereka lebih keras. Ayahnya Agung Prasetyo, berdasarkan informasi pihak kepolisian, sudah termasuk dalam kelompok radikal," ia menambahkan.
Selama kembali ke masyarakat, Yunus dan tujuh teman-temannya mantan narapidana jaringan Bom Bali memilih beraktivitas di Koperasi Merah Putih 71.
Di Kalimantan Timur ada delapan orang mantan narapidana kasus terorisme, termasuk Yunus, tersebar di Samarinda empat orang, Tenggarong satu orang, Balikpapan dua orang dan PPU satu orang.
"Saya ikut dalam bom aksi terorisme 2002. Semuanya adalah mantan jaringan bom Bali I, dan sudah pernah menjalani hukuman. Saya tujuh tahun, dan ada pula yang beberapa tahun," tutur Yunus.
Anggiat Banjarnahor (33) dan Diana Susanti Br Sinaga (32) tak kuasa menahan tangis melihat jenazah anaknya, Intan Olivia Banjarnahor (2), di balik peti kayu. Kerabat berdatangan ke rumah keduanya di RT 27 No. 70, Gang Jati 3, Harapan Baru, Samarinda Seberang, Kalimantan Timur, Senin (14/11/2016). TRIBUN KALTIM/NEVRIANTO HARDI PRASETYO
Mantan narapidana kasus terorisme ini biasanya kumpul setiap dua bulan sekali. Koperasi Merah Putih 71 harus memenuhi syarat 20 orang, sementara jumlah narapidana hanya delapan orang.
Sehingga ikut bergabunglah pula beberapa anggota keluarga mantan narapidana. Sisanya diisi perwakilan dari Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme beserta keluarga mereka.
Di Koperasi Merah Putih 71, Yunus bertindak sebagai ketua, dan Pak Sutopo sebagai bendaharanya. Mereka mendapat pembinaan dan pelatihan untuk mampu berdiri secara ekonomi.
"Bekerjasama dengan FKPT. Ada yang bergerak dalam pembinaan bidang perkebunan, LPG, perikanan , dan lainnya. Intinya bagaimana untuk meningkatkan taraf ekonomi," cerita Yunus.
Untuk permasalahan dana, setiap tahunnya mereka mendapatkan bantuan sebesar Rp 80 juta dari BNPT. "Tiap orang Rp 10 juta. Itu untuk lakukan usaha," katanya.
Mantan anggota narapidana jaringan bom ikut berperan mengidentifikasi apabila ada jaringan pelaku yang masuk ke suatu daerah. (TRIBUN KALTIM)