Anak-anak Jemaat Geraja Oikumene Samarinda Takut Beribadah
Teror bom di Gereja Oikumene pada 13 November 2016 menyisakan trauma bagi jemaat gereja, terutama anak-anak.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Christoper Desmawangga
TRIBUNKALTIM.CO, SAMARINDA - Teror bom di Gereja Oikumene pada 13 November 2016 menyisakan trauma bagi jemaat gereja, terutama anak-anak.
Hal tersebut diungkapkan pendeta Ersa Adim Simamora. Menurut dia anak-anak jemaat Gereja Oikumene masih takut untuk beribadah ke gereja.
"Ada skitar 20 anak yang rutin ikut sekolah Minggu, mereka masih trauma. Bahkan, kami sudah memisahkan ibadah mereka dengan dewasa, namun mereka menolak karena takut," ungkap Ersa kepada Tribun Kaltim, Sabtu (3/12/2016).
Joy Rian Fernandes Hutahayan (13), misalnya. Kakak salah satu korban ledakan bom sangat takut pergi ke gereja, bahkan lewat di depannya pun enggan.
Saat kejadian bocah kelas VIII SMP itu sedang bermain ponsel di dalam gereja. Ia tak tahu adiknya, Trinity Hutahaya, menjadi korban ledakan.
Setelah ledakan meletus, Joy langsung lari lewat samping gereja. Minggu lalu ia sudah beribadah ke gereja, dan kini rasa takut mulai menghilang karena sekitar gerenya polisi berjaga.
Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan Kota Samarinda, bersama Komisi Perlindungan Anak Indonesia Kota Samarinda mengajak psikolog Universitas Mulawarman dan Univeritas 17 Agustus 1945 untuk memberikan trauma healing kepada anak-anak.
Pagi tadi sedikitnya 20 anak dan orangtua berkumpul di rumah warga di Jalan Cipto Mangunkusumo. Di rumah tersebut 30 psikolog datang untuk memberikan konseling kepada jemaat gereja Oikumene.
Anak-anak mendapat hiburan lewat cerita dongeng boneka dan juga bingkisan oleh Ketua KPAI Kota Samarinda, Sri Lestari, yang juga merupakan istri Wakil Wali Kota Samarinda, Nusyirwan Ismail.
"Semenjak kejadian itu kami bersama sejumlah LSM telah merencanakan untuk melakukan pendampingan terhadap orangtua dan juga anak-anak jemaat, untuk hilangkan trauma mereka," ujar Sri.