Teori Supply and Demand Tak Mampu Jelaskan Melinjaknya Harga Cabai
Teori ekonomi supply and demand tak bisa digunakan untuk menjelaskan masalah kenaikan harga cabai yang meroket tajam.
Editor: Y Gustaman
![Teori Supply and Demand Tak Mampu Jelaskan Melinjaknya Harga Cabai](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/cabai-rawit_20170111_121117.jpg)
”Kramatjati itu pasar induk yang menjadi barometer. Lalu mengapa bisa ditekan seperti ini,” Sudjono menjelaskan.
![tabel harga cabai rawit di Pasar Induk Kramatjati](http://cdn2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/tabel-harga-cabai-rawit-di-pasar-induk-kramatjati_20170209_154821.jpg)
Sehingga kondisi ini menjadi efek domino harga cabai di daerah-daerah lainnya. Ini membuat harga cabai di daerah lainnya ikut menjadi mahal. Ditambah lagi pemberitaan media massa, yang terus memberitakan kenaikan harga cabai turut membuat harga cabai kian naik.
”Saya sempat membaca running text di televisi. Harga Samarinda mencapai Rp 200 ribu. Padahal saat itu saya sedang bersama Kepala Dinas Pertanian Samarinda. Setelah dicek langsung, ternyata masih Rp 70.000,” kata Sudjono.
Efek domino ini membuat pedagang dan petani di daerah ikut menaikkan harga. Sudjono mengunjungi daerah-daerah yang menjadi sentra cabai seperti Kediri, Blitar, Malang, Banyuwangi dan lainnya.
”Ketika saya tanya, mengapa naik? Kata pedagang, dari petani harganya naik. Sedangkan petani, pedagang yang menaikkan. Ini kan membingungkan,” kata Sudjono.
Sebenarnya pasokan cabai di daerah cukup. Seperti di Banyuwangi yang menjadi pemasok cabai terbesar di Jawa Timur, mencapai 4.300 hektare dan tiap hektarenya mencapai 6 ton cabai. Sehingga pada akhir 2016, Banyuwangi menghasilkan sekitar 25.000 ton.