Korupsi Dana Pembangunan Kelas Direktur PT UTJ Ini Divonis 1 Tahun 2 Bulan Penjara
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Tanjungkarang menjatuhkan hukuman pidana penjara selama satu tahun dan bulan terhadap
TRIBUNNEWS.COM, TANJUNGKARANG - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Tanjungkarang menjatuhkan hukuman pidana penjara selama satu tahun dan bulan terhadap Direktur PT Usaha Titian Jejama (UTJ) Baroni (44).
Majelis hakim menyatakan Baroni terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 3 UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
“Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 50 juta subsidair dua bulan kurungan,” ujar hakim ketua Virza Noviansyah, Jumat (24/2/2017). Di dalam perkara korupsi pembangunan ruang kelas SMAN 6 Metro ini, negara merugi Rp 54 juta.
Dalam proses persidangan, Baroni sudah menitipkan uang Rp 54 juta untuk membayar kerugian negara tersebut. “Salah satu hal yang meringankan, terdakwa sudah membayar kerugian negara sebesar Rp 54 juta,” kata hakim.
Putusan ini lebih rendah dari tuntutan penuntut umum yaitu pidana penjara selama satu tahun dan enam bulan. Atas putusan ini, baik terdakwa maupun penuntut umum menyatakan pikir-pikir selama tujuh hari.
Korupsi ini berawal saat tahun 2013. Ketika itu Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga Kota Metro memiliki anggaran untuk pembangunan gedung ruang kelas SMAN 6 Kota Metro dengan nilai anggaran sebesar Rp 3 miliar.
Dari pekerjaan itu, Puspita Dewi selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menetapkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
Namun, dalam pekerjaannya kegiatan tersebut dikerjakan oleh Abdul Mukti yang meminjam perusahaan PT UTJ yang dipimpin terdakwa Baroni untuk mengikuti lelang. Peminjaman perusahaan tersebut, disepakati jika terdakwa diberikan keuntungan sebesar Rp20 juta.
Kemudian, saat pekerjaan telah selesai dilakukan penarikan dana termin kesatu 35 persen yang masuk ke rekening PT UTJ oleh Zaini Abidin di Bank Lampung Cabang Metro sebesar Rp 407 juta dan ditanda tangani terdakwa.
Ternyata proyek pembangunan ruang kelas SMAN 6 tersebut macet dan tidak dikerjakan lagi oleh Abdul Mukti, karena kekurangan dana, sehingga harus meminjam uang kepada Arif Rifki sebesar Rp 250 juta untuk meneruskan pekerjaan tersebut.
Ternyata, proyek tersebut kembali macet, karena sertifikat milik Arif Fikri yang digunakan Abdul Mukti dijadikan agunan di Bank Lampung.
Seluruh masalah dalam kegiatan tersebut diketahui Abdul Mukti dan dilanjutkan Arif Fikri. Namun, terdakwa tidak melakukan tindakan apapun atau mengambil alih pekerjaan tersebut.
Terdakwa justru menyetujui serta membiarkan sisa pekerjaan pembangunan gedung ruang kelas tersebut terbengkalai.
Akhirnya, saat pekerjaan selesai didapati kekurangan spesifikasi teknis. Berdasarkan Hasil Audit Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Lampung terdapat kerugian keuangan negara sebesar Rp 54 juta.