Nekad Jadi Kuli Bangunan di Malaysia Demi Anaknya Bisa Menjadi Perawat
Eko harus merasakan ditahan Imigresen Malaysia selama 36 hari lantaran bermasalah dengan izin tinggal di Malaysia
Penulis: Tito Ramadhani
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Tito Ramadhani
TRIBUNNEWS.COM, PONTIANAK - Satu di antara TKI Bermasalah yang dideportasi Pemerintah Malaysia, Eko Wiyanto (38) mengaku tidak ada sepeser pun uang hasilnya bekerja di Malaysia, diambil petugas Imigresen Malaysia saat ditangkap bersama enam temannya di mess.
"Sewaktu ditangkap Imigresen Malaysia, mereka ndak ada yang mengambil uang saya. Uang hasil kerja kan saya kirimkan setiap bulan. Sewaktu ditangkap uang sudah saya kirimkan, jadi saat itu saya tidak bawa uang. Saat ditangkap itu, saya lagi tidur di mess," ungkapnya setiba di Dinsos Kalbar, Kamis (4/5/2017).
Pria asal Pati, Jawa Tengah ini mengaku telah bekerja sebagai buruh bangunan selama 8 tahun di Malaysia.
"Saya bekerja di Malaysia sudah lama, sudah lebih 8 tahun. Tapi yang ikut toke (majikan) yang terakhir ini saya sudah bekerja sudah selama 2 tahun. Sama toke yang baru ini saya kerja bangunan. Sebelumnya juga kerja bangunan, cuma pindah toke saja. Kalau di Malaysia, gaji kerja bangunan itu RM 80 perhari," jelasnya.
Saat ditangkap Imigresen Malaysia, ia bersama 22 temannya yang bertempat tinggal di mess yang sama.
Eko harus merasakan ditahan Imigresen Malaysia selama 36 hari lantaran bermasalah dengan izin tinggal di Malaysia.
"Saya ditahan di Imigresen selama 36 hari, karena toke saya yang jamin, jadi cepat dilepas. Toke saya ada bayar sama Imigresen, kan permit (izin tinggal) saya masih dalam proses, jadi sebenarnya tingga tunggu permit keluar saja lagi. Teman-teman saya 16 orang yang lainnya langsung kembali bekerja sama toke, karena permit-nya sudah ada. Kalau kami bertujuh, dipulangkan. Total kami waktu itu 23 orang, tokenya sama," terangnya.
Di Malaysia, Eko mengaku mengerjakan pembangunan kondominium 12 tingkat.
Dari tujuh orang kelompoknya yang dipulangkan tersebut, terdiri dari satu orang berasal dari Kota Pontianak, satu orang dari Madura, dan lima lainnya berasal dari Pati, Jawa Tengah.
"Dulu masuk ke Malaysia saya berangkat sendiri dari Entikong. Saya berangkat lengkap dengan paspor, ada permit juga. Kalau sampai ditangkap ini, saya sebenarnya ada permit, cuma baru disambung (perpanjangan). Permit saya itu habis bulan Januari, jadi lagi diproses sama toke saya, sudah ada surat dari Imigresen untuk memberikan keterangan digunakan selama bulan 1 sampai bulan 4. Tapi walau saya bawa surat itu, tetap dibawa juga sama Imigresen," papar Eko.
Eko menuturkan, berniat akan kembali bekerja ke Malaysia.
Jika dibandingkan, bekerja bangunan di Pati ia hanya mendapatkan upah sekitar Rp 80 ribu perhari, sehingga sangat jauh berbeda dengan upah saat ia bekerja bangunan di Malaysia yang mencapai RM 80 perhari.
"Kalau permit saya sudah keluar, saya kembali lagi bekerja ke Malaysia. Tapi setelah dipulangkan ini, saya mau balik ke Jawa dulu. Kalau permit sudah jadi, baru masuk lagi ke Malaysia," katanya.
Disinggung mengenai perbedaan kerjanya, ia menyebut sama saja.
"Bedanya hanya, kalau di Jawa pekerjaan bangunan tidak lancar, biasanya kerja satu minggu, tidak bekerjanya 15 hari, mau makan apa. Kalau di Malaysia, setiap hari ada pekerjaan bangunan. Tapi setiap minggu liburnya 1 hari sampai 2 hari," tuturnya.
Pria lulusan SMA ini mengungkapkan, ia sebenarnya nekad bekerja ke Malaysia, lantaran membutuhkan biaya untuk pendidikan ketiga anaknya.
Eko memiliki cita-cita, anak-anaknya harus mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya.
"Sawah ada di Jawa, tapi kalau ada hujan saja. Jadi hasilnya jauh kalau dibanding kerja di Malaysia. Namanya juga saya butuh biaya buat menyekolahkan anak. Anak saya ada 3, yang pertama sudah SMK, anak yang kedua sudah kelas 4 SD dan yang bungsu baru mau masuk kelas 1 SD," katanya.
Ia berharap adanya biaya, anaknya bisa melanjutkan ambil sekolah perawat.
"Jadi walaupun bapaknya kuli, anak saya punya pendidikan lebih bagus, cita-cita saya begitu," ungkapnya.
Selama ditahan pihak Imigresen Malaysia, Eko mengaku tidak pernah mengalami permasalahan.
Tak seperti pengalaman TKI lainnya yang pernah merasakan dipukul dan lainnya.
"Makan di Imigresen dua kali sehari. Enaknya kerja di Malaysia, hasilnya lumayan. Kalau ndak enaknya itu jauh dari keluarga saja. Tapi setiap hari saya menelpon anak dan istri," kata Eko.
Setiap tahunnya, Eko biasanya pulang ke Pati sebelum puasa, dan kembali lagi bekerja ke Malaysia setelah lebaran.
"Sebenarnya rindu sama keluarga, tapi demi anak bisa sekolah. Awalnya bekerja ke Malaysia saya takut, tapi demi ekonomi lebih baik, saya nekad saja," katanya.
Selama bekerja ke Malaysia saya selalu lengkap dokumennya, baru kali ini dideportasi.
"Di tempat saya itu tidak ada perusahaan penyalur TKI. Jadi saya masuk ke Malaysia, dulunya ikut sepupu saya. Dia sudah lebih dulu bekerja ke Malaysia, lebih 15 tahun dia bekerja di sana," katanya.