Reforma Agraria Bersinergis dengan Program Cetak Sawah
Program reforma agraria yang dicanangkan pemerintah sangat bersinergis dengan program cetak sawah yang sudah bergulir.
TRIBUNNEWS.COM - Program reforma agraria yang dicanangkan pemerintah sangat bersinergis dengan program cetak sawah yang sudah bergulir. Tanah objek reforma agraria (TORA) akan diredistribusi sebagian untuk sektor pertanian.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron mengemukakan, program TORA dan cetak sawah bisa saling dukung.
Komisi IV sendiri sudah mencanangkan pengadaan lahan pertanian kepada Menteri Pertanian yang salah satunya adalah untuk cetak sawah baru.
Tahun lalu sudah 130 ribu hektare lahan diadakan. Tahun ini akan diadakan lagi 80 ribu hektare lahan baru untuk pertanian.
“Kalau disinergiskan dua program ini, bisa saling dukung mengatasi keterbatasan lahan dan dana yang dihadapi para petani. Pemerintah bisa membuka lahan bagi rakyat. Program TORA pada prinsipnya sama dengan program pemerintahan sebelumnya, yaitu pengalihan tanah negara bebas untuk masyarakat. Tinggal sekarang bagaimana secara teknis administratif bisa didistibusikan kepada masyarakat,” ungkap Herman di ruang kerjanya Rabu (10/5/2017).
Tanah negara bebas, sambung Anggota F-PD ini, adalah tanah yang free, clear, and clean. Tanah ini sudah dinyatakan bebas dari konflik.
Dulu di era ORBA, ada program transmigrasi yang memberikan efek luar biasa terhadap ketersediaan pangan, karena memang didistribusi khusus bagi para transmigran yang basisnya meningkatkan produksi pangan.
“Program itu terus berlanjut hingga era Pak SBY dan Jokowi. Program ini sangat realistis,” tutur Herman.
Saat ini, kata politisi dari dapil Jabar VIII itu, ada TORA seluas 4,9 juta hektare yang bisa diberikan kepada masyarakat.
Selain itu, masih ada 124 juta hektare lahan kehutanan milik negara. Lahan ini juga free, clear, and clean adalah hutan negara.
Program ini, sekali lagi, didasarkan pada UU Pokok Agraria tahun 1960 yang memberi dasar terhadap reforma agraria. Setiap pemerintahan selalu melakukan redistribusi tanah kepada masyarakat.
“Dari sisi ketersediaan tanah maupun regulasi sudah memadai untuk melakukan program ini. Pada zaman Pak SBY dicanangkan 1 juta hektare. Zaman Pak Jokowi dicanangkan redistribusi tanah sebesar 9 juta hektare. Nah, apakah 9 juta ini bisa tercapai, tentu bergantung pada situasi terkini, bagaimana pengalihan tanah negara bebas ini disertifikasi kemudian menjadi tanah rakyat. Memang tidak mudah dan tidak sederhana pengalihannya. Lahan-lahan tersebut ditujukan untuk memudahkan usaha rakyat,” papar Herman.
Ditambahkannya, pada tahun 2045 dengan asumsi penduduk Indonesia mencapai 300 juta, tentu butuh tambahan lahan baku pertanian sekitar 15 juta hektare.
Bila kini sudah ada 7,5 juta hektare, maka butuh 7,5 juta hektare lagi. Tinggal sekarang seberapa kuat negara dalam reforma agraria ini, mampu menyediakan tambahan lahan pertanian untuk swasembada dan mewujudkan kedaulatan pangan.
“Tantangan ke depan semakin besar. Jumlah air semakin sulit, perubahan iklim semakin ekstrim, dan hama pengganggu tanaman bermunculan. Banyak sekali persoalan sektor pertanian ke depan, selain masalah lahan,” ungkap Herman. (Pemberitaan DPR RI)