Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sembilan Alasan Kebijakan Sekolah Lima Hari Harus Ditolak

Sembilan alasan kebijakan belajar mengajar lima hari dan akan diberlakukan pada tahun ajaran 2017/2018 harus dicabut.

Editor: Y Gustaman
zoom-in Sembilan Alasan Kebijakan Sekolah Lima Hari Harus Ditolak
youtube
Belajar di kolong rumah panggung. 

Laporan Wartawan Tribun Jateng, M Nur Huda

TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy terkait belajar mengajar lima hari pada tahun ajaran 2017/2018 diminta untuk dicabut.

"Sebab ada beberapa alasan mengapa harus dicabut. Ini atas aspirasi masyarakat melalui kegiatan reses yang kami lakukan di berbagai daerah di Jateng," ujar anggota Komisi E DPRD Jateng, Muh Zen, Minggu (11/6/2017).

Menurut Zen kebijakan tersebut diberlakukan tapi tidak melalui proses menerima masukan dari berbagai pemangku kepentingan baik di tingkat pendidikan dasar maupun menengah.

"Saya yakin kebijakan itu dibuat tim.Tapi tim tidak mendengar masukan semua stakeholder di Indonesia. Jika mendengar langsung atau tidak langsung, pemerintah pasti tidak gegabah," ungkap dia.

Ia mengatakan memang PP Nomor 19 tahun 2005 itu tidak wajib dijalankan untuk daerah tertentu, tapi pada dasarnya akan menjadi kewajiban. Kepala sekolah yang tak menjalankan biasanya dapat ancaman.

Sedikitnya terdapat sembilan alasan mengapa kebijakan sekolah lima hari itu mesti dicabut. Pertama, aspek psikologis.

Berita Rekomendasi

Komisi E DPRD Jateng pernah melakukan dengar pendapat dengan sejumlah pakar psikologi dari beberapa perguruan tinggi di Jateng soal kemungkinan sekolah hanya lima hari dan otomatis jam belajar lebih panjang.

"Hasilnya anak usia SD setelah jam 13.00 daya serap ilmunya tidak maksimal, hanya 60 persen. Artinya, kalau kegiatan belajar mengajar sampai jam 16.00 maka keterserapan pendidikan di anak usia dini tidak tercapai," ungkap dia.

Kedua, aspek sarana dan parasara. Harus diakui 40 persen sarpras berupa musala atau masjid di sekolah belum representatif. Tempat wudu di SMA Negeri 1 Kota Semarang saja hanya mampu menampung sepertiga dari total jumlah siswa.

"Kantin juga belum semua siap," aku Zein.

Ketiga, aspek ekonomi, tentunya beban orangtua untuk uang saku akan bertambah, bahkan bisa dua kali lipat dari hari biasanya.

Keempat, aspek keamananan, ketika siswa pulang sore hari tentu akan bertaruh dengan para pekerja di jalan raya, bahkan di Wonosobo ada yang baru pulang pukul 20.00.

Kelima, aspek akademik. Kurikulum yang lama tentu belum sesuai dengan aturan sekolah lima hari. Padahal hal itu terkait dengan tingkat keterserapan materi pada siswa. Jika belum diubah tentu akan sulit menyesuaikan.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas