Warga Menduga Ada Oknum Rebut Tanah Hak Warga Kelurahan Parangloe
Sekelompok warga memasang spanduk di sebuah lahan di Kelurahan Parangloe, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (2/8/2017).
Penulis: Fahrizal Syam
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribun Timur, Fahrizal Syam
TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR - Sekelompok warga memasang spanduk di sebuah lahan di Kelurahan Parangloe, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (2/8/2017).
Spanduk tersebut sebagai bentuk protes warga kepada oknum yang diduga menjadi mafia tanah dan merebut tanah yang menjadi hak warga.
Berdasarkan info yang diperoleh, permasalahan bermula saat tiba-tiba seorang yang bernama Arsyad menemui pemilik tanah dan menunjukkan putusan PTUN dan MA yang membatalkan sertifikat milik enam warga.
Salah satu pemilik tanah, David kepada Tribun Timur mengatakan sertifikat tanah yang ia miliki sah berdasarkan data-data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Makassar.
Namun kemudian dibatalkan oleh putusan pengadilan atas dasar yang tidak benar.
"Awalnya begini, saya butuh tanah untuk simpan alat berat, Oktober 2009 saya dapat tanah lengkap dengan sertifikatnya, saya cek ke BPN dan benar, karena benar tanahnya ada dan tak ada masalah, saya beli dari pemiliknya yang namanya Atijah," ujar David.
"Kemudian di akhir 2012, Arsyad tiba-tiba membawakan saya putusan PTUN, dan MA bahwa dia menggugat BPN dan dalam gugatannya ia berhasil membatalkan enam sertifikat, salah satunya milik saya," tambahnya.
David menjelaskan, dasar gugatannya ke PTUN karena Arsyad mengaku memiliki SK Kantor Inspeksi Agraria (Kinag) nomor 95 Tahun 1965, nomor urut 191 atas nama Sako.
"Sesungguhnya Sako itu orang lain, jadi SK Kinag itu diberikan kepada penduduk yang berdomisili di tempat itu. Sedangkan ayahnya ini, Sakka tinggal di Makassar. Dulu tanah ini masuk Maros," ujarnya.
David mengatakan, yang membuatnya kecewa adalah karena BPN tak mampu menjelaskan asal usul sertifikat yang dimilikinya saat digugat di pengadilan.
"Kekalahan BPN atas gugatan ini pasti konspirasi, seharusnya BPN menjawab bahwa SK Kinag itu sudah dipakai menerbitkan Sertifikat di tempat lain. Jika BPN jelaskan itu dari awal, tidak mungkin PTUN memenangkannya. SK Kinag itu kan tidak bisa dipakai dua kali di tempat berbeda," kata dia.
"Seharusnya BPN jelaskan bahwa SK Kinag itu sdah dipakai menerbitkan sertifikat, bukan lagi milik orang lain. Tapi BPN tidak menjawab demikian, makanya dimenangkan penggugat. Si sini saya curigai ada mafia tanah yang bermain," keluhnya.
David juga menyebut ia tidak pernah diundang menghadiri persidangan perkara ini di PTUN. Padahal menurutnya sebagai pihak yang terkait ia harusnya diikutsertakan.
"Tuntutan saya jelas, pihak berwajib harus menghukum orang-orang yang terlibat, batalkan sertifikat yang diklaim sebagai hak penggugat dan pidanakan semua mafia tanah yang terlibat," kata dia.