Hampir Semua Penduduk Kampung Ini Kaya Raya, Tapi Banyak Anak Putus Sekolah, Ini Penyebabnya
Kampung Merak adalah kampung yang terletak di kawasan Taman Nasional Baluran Situbondo.
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, SITUBONDO - Kampung Merak adalah kampung yang terletak di kawasan Taman Nasional Baluran Situbondo.
Secara data kependudukan, kampung ini terletak di Desa Sumberwaru, Kecamatan Banyuputih, Situbondo.
Di kampung ini terdapat banyak anak putus sekolah. Bukan ekonomi yang menjadi masalah. Bahkan secara ekonomi masyarakat Kampung Merak, bisa dikatakan makmur.
Di Kampung ini tidak terdapat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Hanya ada satu Sekolah Dasar (SD), itupun masih Sekolah Filial.
Sekolah Filial merupakan sekolah kelas jauh, yaitu kelas yang dibuka di luar sekolah induk.
SD Merak berinduk ke SDN 1 Sumberwaru Situbondo.
Banyak anak usia sekolah dari Kampung Merak yang akhirnya terlambat atau putus sekolah usai lulus SD.
Ini karena, Kampung Merak merupakan perkampungan yang terletak di tengah hutan.
Untuk masuk ke kampung ini menempuh jarak 12 kilometer masuk hutan, dengan medan yang sangat berat.
Satu-satunya alat transportasi hanyalah roda dua.
Jalan yang harus dilalui berbatu besar, berkelok, dan membingungkan.
Sering orang yang hendak ke kampung ini nyasar ke hutan.
Apabila musim hujan jalur ini lumpuh tidak bisa dilalui.
Jalur satu-satunya melalui laut dengan menumpang perahu.
Ada 350 kepala keluarga (KK) di kampung ini.
Adalah Muhammad Bastomi (33) dan Ainur Rofik (24), yang mengambil inisiatif untuk membantu anak putus sekolah kembali bersekolah.
Dua anak muda ini mendirikan SMP dan SMA Terbuka gratis, Merak Java School, di Kampung Merak.
”Kami melihat di kampung ini, banyak anak yang lulus SD dan tidak melanjutkan sekolah,” kata Abas, sapaan akrab Bastomi, pendiri SMP dan SMA Terbuka, pendiri Merak Java School, saat ditemui, Senin (11/9/2017) malam.
Abas mendirikan SMP Terbuka pada 2012, untuk menampung lulusan SD Merak yang berdiri pada 2004.
Dua tahun kemudian, pada 2014, Abas membuka SMA Terbuka.
“Sistem pembelajarannya kami adopsi dari Sekolah Alam Banyuwangi. Karena yang kami rasa, Sekolah Alam inilah yang cocok untuk anak-anak di kampung ini,” kata Bastomi.
Konsep Sekolah Alam Banyuwangi, menyelenggarakan pendidikan dengan menyesuaikan kondisi yang ada.
Berkompromi dengan lingkungan, tanpa membebani orangtua dan siswa.
Dengan dana yang diambilkan dari keuntungan Abas berkebun buah naga, secara perlahan bapak satu anak ini membangun bilik untuk ruang kelas.
Bilik yang hanya satu ruang, dan belum selesai pembangunannya itu digunakan untuk tempat belajar siswa SMP dan SMA Terbuka.
”Sekolah kami buka hanya pada malam hari. Karena pagi dan sore, anak-anak di sini bekerja membantu beternak,” kata Abas.
Perekonomian utama di kampung ini adalah berternak sapi dan kambing. Selain itu juga ada yang bertani.
Secara ekonomi warga Kampung Merak sebenarnya sudah sejahtera.
Minimal satu kepala keluarga memiliki 10 ekor sapi. Bahkan ada yang memiliki 30 ekor sapi.
”Tapi banyak yang putus sekolah, karena banyak yang membantu beternak. Kalau mereka sekolah di luar kampung, tidak ada yang membantu di peternakan. Selain itu, tidak ada SMP dan SMA di kampung ini,” kata Abas.
Pria kelahiran Banyuwangi itu mengatakan, sebenarnya anak-anak di kampung ini memiliki minat yang besar untuk sekolah.
Terbukti di tahun ajaran ini saja, terdapat 15 siswa SMP, dan 21 siswa SMA.
Bukan hal yang mudah untuk mendirikan SMP dan SMA Terbuka.
Karena harus memiliki sekolah induk, yang menjadi tempat bernaung dua sekolah ini.
Guru SMP dan SMA Terbuka Merak, Rofik mengatakan, butuh perjuangan mencari sekolah induk yang mau menampung murid-muridnya.
Sedangkan SMA Terbuka, harus menginduk ke kabupaten tetangga, yakni SMAN 1 Wongsorejo Banyuwangi.
”Pada 2016, saya mencari sekolah induk SMA Terbuka hingga ke Kepanjen, Malang. Karena di Situbondo tidak ada informasi SMA yang mau menjadi induk. Saya sudah banyak datangi SMA di Situbondo. Akhirnya saya mendapat sekolah induk di SMAN 1 Wongsorejo Banyuwangi,” kata Rofik.
Bahkan saat mencari sekolah induk, Rofik membawa muridnya, sebagai bukti bahwa ada SMA Terbuka di Kampung Merak.
Untuk proses belajar Rofik mengatakan harus pelan-pelan. Karena siswa banyak yang terlambat sekolah. Ada yang usia 22 tahun masih SMA kelas 2.
”Sebelum belajar anak-anak kami bebaskan sing song (karaoke). Baru setelah itu belajar bersama,” kata Rofik.